Senin, 23 Januari 2012

ANGGARAN PRO POOR


ANGGARAN PRO POOR[i]
A.       Gambaran Umum Tentang Anggaran
Sebagian besar orang sebenarnya tidak asing dengan istilah “anggaran”. Biasanya masyarakat menyebut kata anggaran sebagai sejumlah dana yang disediakan untuk membiayai suatu atau sejumlah kegiatan tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, masyarakat terlibat dalam masalah anggaran, seperti merencanakan peningkatan penghasilan dalam keluarga, menyusun rencana penggunaan uang, menabung dan lain semacamnya.
Namun jika berbicara mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/APBD) masyarakat masih menganggap bahwa anggaran merupakan urusan pemerintah semata. Anggaran dipandang sebagai hal yang rumit dan membutuhkan “keahlian” khusus.
Anggapan masyarakat seperti ini dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan anggaran. Untuk itu perlu ada upaya untuk memberikan pemahaman anggaran dan keterkaitan kebijakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini kemudian diharapkan akan mendorong munculnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan anggaran.
B.       Pengertian Anggaran
Secara umum anggaran adalah sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu lembaga tertentu untuk kurun waktu tertentu (masa yang akan datang). Beberapa pengertian anggaran antara lain sebagai berikut :
“Anggaran adalah alat untuk mencapai tujuan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang orientasinya tidak lain adalah ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.” (Abedian & Samuel)

“Anggaran negara adalah suatu pernyataan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa kini dan masa lalu.” (Due & Baswir)

Anggaran merupakan alat penting untuk melihat kebijakan dan orientasi pemerintah dalam menjalankan mandatnya. APBD merupakan perencanaan strategis yang menghasilkan ukuran-ukuran kinerja untuk melihat kesesuaian kinerja pemerintah daerah dengan ketentuan yang telah disepakati.
APBD merupakan aspek penting dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. APBD seharusnya dapat menjadi jelmaan dari keinginan masyarakat daerah dalam pembangunan. Artinya, semua tahapan yang dimulai dari perencanaan dan persiapan, ratifikasi, implementasi dan pelaporan serta evaluasi APBD sebaiknya bersifat terbuka sehingga tuntutan dan kebutuhan publik menjadi bagian yang terintegrasi di dalamnya.
C.       Pengertian Anggaran Pro Poor
Anggaran pro poor dapat dipahami sebagai anggaran yang memihak orang miskin. Ada desain pemenuhan kebutuhan dasar masyrakat miskin melalui proses anggaran mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan.
Istilah-istilah :
·        Anggaran yang berpihak pada orang miskin (pro poor budget).
·        Anggaran yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
·        Anggaran berbasis masyarakat (people oriented budget).
Dengan demikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sehingga hak-hak dasarnya dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran.
Jadi, anggaran pro poor adalah :
1.        Suatu gagasan yang mengarahkan pada pentingnya kebijakan pembangunan yang berpihak pada si miskin.
2.        Praktek penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin.
3.        Kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan dan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
D.      Bagaimana Menilai Apakah Anggaran Pro Poor ?
Bagaimana menentukan sebuah kebijakan anggaran pro poor atau tidak dapat diidentifikasi melalui dua hal yaitu proses dan isi atau alokasi anggarannya. Melalui proses, apakah formulasi kebijakan anggaran melibatkan orang miskin atau tidak. Oleh karena itu partisipasi masyarakat miskin untuk terlibat dalam tahap-tahap penganggaran menjadi penting untuk diamati. Selain aspek partisipasi, bagaimana pula transparansi dan akuntabilitasnya. Apakah semua data tentang anggaran dapat diketahui dengan mudah, artinya informasi tersebut disediakan. Kemudian apakah pengguna anggaran melakukan akuntabilitasnya melalui tahap-tahap akunting, pelaporan, dan auditing.
Pengamatan terhadap isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan tahap berikutnya untuk memastikan apakah sebuah kebijakan anggaran pro poor atau tidak. Ada dua sisi yang harus diperhatikan berkenaan dengan isi APBD ini yaitu dari sisi belanja dan pendapatan. Dari sisi belanja, pengalokasian anggaran untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti. Beberapa alokasi anggaran yang berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan dapat diamati untuk mendapatkan gambaran bagaimana kebijakan serta prioritas pemerintah daerah terhadap pelayanan-pelayanan dasar tersebut.
Untuk membuktikan sebuah kebijakan anggaran pro poor atau tidak dari sisi pendapatan, perlu diperiksa apakah pajak atau retribusi membebani masyarakat miskin. Mana yang paling diuntungkan dan dirugikan dengan kebijakan pendapatan tersebut. Sebagai contoh adalah di kota Bandung ada PJPU (Pajak Penerangan Jalan Umum) sebesar 3% yang dibebankan pada masyarakat. Baik masyarakat berpendapatan rendah atau tinggi, sama dikenakan 3%. Penarikan pajak ini dilakukan secara otomatis melalui pembayaran listrik. Cukup adilkah kebijakan ini ?
            Hati-hati juga bagaimana menyikapi sisi pendapatan, jangan sampai terbuai dengan angka dan peraturannya yang sudah dibuat. Banyak peraturan-peraturan terlihat seperti berpihak pada masyarakat miskin namun dalam prakteknya belum tentu itu yang terjadi. Misalnya penarikan retribusi sampah dilakukan melalui kartu pembayaran listrik. Ini artinya semua kelompok masyarakat tidak bisa menghindar dari pungutan retribusi sampah. Namun dalam prakteknya, sampah-sampah yang berada di lingkungan perumahan elit mudah diangkut. Sementara sampah masyarakat miskin jarang diangkut karena lokasi perumahan masyarakat miskin biasanya susah diakses oleh kendaraan sampah. Yang terjadi kemudian, masyarakat miskin harus membayar gerobak untuk mengangkut sampah mereka. Jadi mereka harus membayar retribusi sampah berkali-kali. Ini adalah sebuah potret kebijakan yang membebani kelompok miskin, retribusi dengan mudah ditarik dari masyarakat tetapi pelayanan yang harus diberikan tidak dilakukan dengan maksimal terutama terhadap masyarakat miskin.
Prinsip-prinsip anggaran pro poor :
1.      Mengelola anggaran secara transparan, akuntabel dan partisipatif.
2.      Melibatkan publik dalam semua aspek yang terkait dengan proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan anggaran.
3.      Menggunakan proinsip keadilan anggaran (efisien, efektif, ekonomi dan equity/berkeadilan).
4.      Berbasiskan pada ukuran kinerja, setiap program, proyek, dan kegiatan harus mempunyai indikator yang jelas dan terukur.
Prasyarat anggaran pro poor :
1.      Kehendak politik yang kuat.
2.      Iklim yang mendukung.
3.      Tata pemerintahan yang baik.
4.      Pertumbuhan ekonomi yang memihak orang miskin.
5.      Teridentifikasinya siapa kaum miskin dan kebutuhannya.
Pemerintahan yang memihak kepada orang miskin
E.       Contoh Best Practices Anggaran Pro Poor
Jembrana, sebuah kabupaten yang berada di Propinsi Bali merupakan sebuah contoh yang mengadopsi anggaran pro poor. Hal ini dapat dilihat dari gratisnya beberapa pelayanan dasar begi semua masyarakat Jembrana yaitu pendidikan dan kesehatan. Seluruh biaya pendidikan mulai dari SD (Sekolah Dasar) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas) digratiskan. Sementara di bidang kesehatan, Bupati Jembrana yang latar belakangnya dokter, juga mengembangkan JKJ (Jaminan Kesehatan Jembrana). Semua warga Jembrana diasuransikan sehingga mereka bisa berobat di semua rumah sakit yang ada di Jembrana secara gratis.
Untuk meningkatkan daya beli petani, dilakukan terobosan berupa program dana talangan gabah dan cengkeh. Mulai tahun 2001 melalui 9 KUD harga gabah petani dibeli sesuai dengan harga dasar. Kemudian seluruh PNS dan pegawai honorer membeli beras ini dan dikembalikan oleh KUD sesuai dengan perpanjangan yang dilakukan setiap tahun. Hal yang sama juga dilakukan terhadap para petani cengkeh.
Hal lain yang cukup menarik dari kebijakan anggaran Kabupaten Jembrana ini adalah adanya program subsidi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sawah. Karena petani sawah selalu dalam posisi tawar  yang lemah (marginal), Pemkab Jembrana membantu subsidi PBB sawah disamping mengurangi derasnya alih fungsi sawah. Tahun 2003 telah dibayar subsidi PBB sebesar Rp 600.000.000,00 (tidak seluruh pemilik sawah diberikan subsidi kecuali yang memiliki KTP Jembrana dan belum alih fungsi). Sampai tahun 2005 subsidi PBB sawah mencapai Rp 639.000.000,00.
Kabupaten lain yang bisa dijadikan contoh penerapan anggaran pro poor adalah Kabupaten Sleman. Bupati yang memiliki latar belakang akuntansi ini membuat program dombanisasi, pemberian bantuan domba. Program ini diyakini dapat menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup besar karena akan mendorong munculnya kegiatan-kegiatan usaha pupuk organik (berupa kotoran kambing), jasa pemotongan kambing, penyamakan kulit, kerajinan kulit, penjualan daging kambing dalam berbagai bentuk hidangan, pembuatan krupuk kulit, dan lain-lain.
Selain program dombanisasi, ibu-ibu PKK juga diberi modal sebesar Rp 1 juta untuk kredit candak kulak. Bupati yang berlatar belakang akademisi ini juga mengatakan bahwa kredit yang diberikan kepada orang miskin lebih mudah untuk dikelola dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada tokoh masyarakat seperti program KUT (Kredit Usaha Tani). Seorang penjual kue di pasar hanya membutuhkan modal seratus ribu dan dengan demikian sektor riil akan tetap berjalan dan si penjual bisa bertahan dengan modal yang tidak begitu besar.
Sementara itu contoh dari “walfare state” seperti negara-negara di Skandinavia  menarik juga diamati. Karena gas dinilai sebagai kebutuhan dasar masyarakat, maka pemerintah Swedia menggratiskannya. Di Finlandia misalnya, orang kaya harus membayar pajak yang sangat tinggi untuk mensubsidi orang miskin. Dengan demikian sistem jaminan sosial untuk masyarakat miskin dan kelompok rentan seperti para lanjut usia, mendapatkan jaminan sosial yang cukup baik di negara-negara tersebut.


Referensi :
Fuadi, Ahmad Helmi; Dati Fatimah dkk. Memahami Anggaran Publik. Idea Press. Yogyakarya, 2002.
Pendekatan Praktis Penerapan Kebijakan Pro-poor-Budget. WWF. Jakarta, 2005.
Winasa, Prof.DR.drg. I Gede. Paradigma Baru Pemberian Pelayanan di Daerah (Makalah).
Subiyanto, Ibnu. Fungsi Dinamisator dalam Penganggaran (Makalah).
Pelajaran Berdemokrasi dari Finlandia . Kompas, Senin 23 Januari 2006.   



[i] Disampaikan oleh Ramlan Nugraha, pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Jawa Barat dalam Stadium General Musda KAMMI Daerah Jember pada 20 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar