Tampilkan postingan dengan label Gagasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gagasan. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Januari 2012

ANGGARAN PRO POOR


ANGGARAN PRO POOR[i]
A.       Gambaran Umum Tentang Anggaran
Sebagian besar orang sebenarnya tidak asing dengan istilah “anggaran”. Biasanya masyarakat menyebut kata anggaran sebagai sejumlah dana yang disediakan untuk membiayai suatu atau sejumlah kegiatan tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, masyarakat terlibat dalam masalah anggaran, seperti merencanakan peningkatan penghasilan dalam keluarga, menyusun rencana penggunaan uang, menabung dan lain semacamnya.
Namun jika berbicara mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/APBD) masyarakat masih menganggap bahwa anggaran merupakan urusan pemerintah semata. Anggaran dipandang sebagai hal yang rumit dan membutuhkan “keahlian” khusus.
Anggapan masyarakat seperti ini dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan anggaran. Untuk itu perlu ada upaya untuk memberikan pemahaman anggaran dan keterkaitan kebijakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini kemudian diharapkan akan mendorong munculnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan anggaran.
B.       Pengertian Anggaran
Secara umum anggaran adalah sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu lembaga tertentu untuk kurun waktu tertentu (masa yang akan datang). Beberapa pengertian anggaran antara lain sebagai berikut :
“Anggaran adalah alat untuk mencapai tujuan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang orientasinya tidak lain adalah ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.” (Abedian & Samuel)

“Anggaran negara adalah suatu pernyataan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa kini dan masa lalu.” (Due & Baswir)

Anggaran merupakan alat penting untuk melihat kebijakan dan orientasi pemerintah dalam menjalankan mandatnya. APBD merupakan perencanaan strategis yang menghasilkan ukuran-ukuran kinerja untuk melihat kesesuaian kinerja pemerintah daerah dengan ketentuan yang telah disepakati.
APBD merupakan aspek penting dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. APBD seharusnya dapat menjadi jelmaan dari keinginan masyarakat daerah dalam pembangunan. Artinya, semua tahapan yang dimulai dari perencanaan dan persiapan, ratifikasi, implementasi dan pelaporan serta evaluasi APBD sebaiknya bersifat terbuka sehingga tuntutan dan kebutuhan publik menjadi bagian yang terintegrasi di dalamnya.
C.       Pengertian Anggaran Pro Poor
Anggaran pro poor dapat dipahami sebagai anggaran yang memihak orang miskin. Ada desain pemenuhan kebutuhan dasar masyrakat miskin melalui proses anggaran mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan.
Istilah-istilah :
·        Anggaran yang berpihak pada orang miskin (pro poor budget).
·        Anggaran yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
·        Anggaran berbasis masyarakat (people oriented budget).
Dengan demikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sehingga hak-hak dasarnya dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran.
Jadi, anggaran pro poor adalah :
1.        Suatu gagasan yang mengarahkan pada pentingnya kebijakan pembangunan yang berpihak pada si miskin.
2.        Praktek penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin.
3.        Kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan dan atau terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
D.      Bagaimana Menilai Apakah Anggaran Pro Poor ?
Bagaimana menentukan sebuah kebijakan anggaran pro poor atau tidak dapat diidentifikasi melalui dua hal yaitu proses dan isi atau alokasi anggarannya. Melalui proses, apakah formulasi kebijakan anggaran melibatkan orang miskin atau tidak. Oleh karena itu partisipasi masyarakat miskin untuk terlibat dalam tahap-tahap penganggaran menjadi penting untuk diamati. Selain aspek partisipasi, bagaimana pula transparansi dan akuntabilitasnya. Apakah semua data tentang anggaran dapat diketahui dengan mudah, artinya informasi tersebut disediakan. Kemudian apakah pengguna anggaran melakukan akuntabilitasnya melalui tahap-tahap akunting, pelaporan, dan auditing.
Pengamatan terhadap isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan tahap berikutnya untuk memastikan apakah sebuah kebijakan anggaran pro poor atau tidak. Ada dua sisi yang harus diperhatikan berkenaan dengan isi APBD ini yaitu dari sisi belanja dan pendapatan. Dari sisi belanja, pengalokasian anggaran untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti. Beberapa alokasi anggaran yang berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan dapat diamati untuk mendapatkan gambaran bagaimana kebijakan serta prioritas pemerintah daerah terhadap pelayanan-pelayanan dasar tersebut.
Untuk membuktikan sebuah kebijakan anggaran pro poor atau tidak dari sisi pendapatan, perlu diperiksa apakah pajak atau retribusi membebani masyarakat miskin. Mana yang paling diuntungkan dan dirugikan dengan kebijakan pendapatan tersebut. Sebagai contoh adalah di kota Bandung ada PJPU (Pajak Penerangan Jalan Umum) sebesar 3% yang dibebankan pada masyarakat. Baik masyarakat berpendapatan rendah atau tinggi, sama dikenakan 3%. Penarikan pajak ini dilakukan secara otomatis melalui pembayaran listrik. Cukup adilkah kebijakan ini ?
            Hati-hati juga bagaimana menyikapi sisi pendapatan, jangan sampai terbuai dengan angka dan peraturannya yang sudah dibuat. Banyak peraturan-peraturan terlihat seperti berpihak pada masyarakat miskin namun dalam prakteknya belum tentu itu yang terjadi. Misalnya penarikan retribusi sampah dilakukan melalui kartu pembayaran listrik. Ini artinya semua kelompok masyarakat tidak bisa menghindar dari pungutan retribusi sampah. Namun dalam prakteknya, sampah-sampah yang berada di lingkungan perumahan elit mudah diangkut. Sementara sampah masyarakat miskin jarang diangkut karena lokasi perumahan masyarakat miskin biasanya susah diakses oleh kendaraan sampah. Yang terjadi kemudian, masyarakat miskin harus membayar gerobak untuk mengangkut sampah mereka. Jadi mereka harus membayar retribusi sampah berkali-kali. Ini adalah sebuah potret kebijakan yang membebani kelompok miskin, retribusi dengan mudah ditarik dari masyarakat tetapi pelayanan yang harus diberikan tidak dilakukan dengan maksimal terutama terhadap masyarakat miskin.
Prinsip-prinsip anggaran pro poor :
1.      Mengelola anggaran secara transparan, akuntabel dan partisipatif.
2.      Melibatkan publik dalam semua aspek yang terkait dengan proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan anggaran.
3.      Menggunakan proinsip keadilan anggaran (efisien, efektif, ekonomi dan equity/berkeadilan).
4.      Berbasiskan pada ukuran kinerja, setiap program, proyek, dan kegiatan harus mempunyai indikator yang jelas dan terukur.
Prasyarat anggaran pro poor :
1.      Kehendak politik yang kuat.
2.      Iklim yang mendukung.
3.      Tata pemerintahan yang baik.
4.      Pertumbuhan ekonomi yang memihak orang miskin.
5.      Teridentifikasinya siapa kaum miskin dan kebutuhannya.
Pemerintahan yang memihak kepada orang miskin
E.       Contoh Best Practices Anggaran Pro Poor
Jembrana, sebuah kabupaten yang berada di Propinsi Bali merupakan sebuah contoh yang mengadopsi anggaran pro poor. Hal ini dapat dilihat dari gratisnya beberapa pelayanan dasar begi semua masyarakat Jembrana yaitu pendidikan dan kesehatan. Seluruh biaya pendidikan mulai dari SD (Sekolah Dasar) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas) digratiskan. Sementara di bidang kesehatan, Bupati Jembrana yang latar belakangnya dokter, juga mengembangkan JKJ (Jaminan Kesehatan Jembrana). Semua warga Jembrana diasuransikan sehingga mereka bisa berobat di semua rumah sakit yang ada di Jembrana secara gratis.
Untuk meningkatkan daya beli petani, dilakukan terobosan berupa program dana talangan gabah dan cengkeh. Mulai tahun 2001 melalui 9 KUD harga gabah petani dibeli sesuai dengan harga dasar. Kemudian seluruh PNS dan pegawai honorer membeli beras ini dan dikembalikan oleh KUD sesuai dengan perpanjangan yang dilakukan setiap tahun. Hal yang sama juga dilakukan terhadap para petani cengkeh.
Hal lain yang cukup menarik dari kebijakan anggaran Kabupaten Jembrana ini adalah adanya program subsidi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sawah. Karena petani sawah selalu dalam posisi tawar  yang lemah (marginal), Pemkab Jembrana membantu subsidi PBB sawah disamping mengurangi derasnya alih fungsi sawah. Tahun 2003 telah dibayar subsidi PBB sebesar Rp 600.000.000,00 (tidak seluruh pemilik sawah diberikan subsidi kecuali yang memiliki KTP Jembrana dan belum alih fungsi). Sampai tahun 2005 subsidi PBB sawah mencapai Rp 639.000.000,00.
Kabupaten lain yang bisa dijadikan contoh penerapan anggaran pro poor adalah Kabupaten Sleman. Bupati yang memiliki latar belakang akuntansi ini membuat program dombanisasi, pemberian bantuan domba. Program ini diyakini dapat menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup besar karena akan mendorong munculnya kegiatan-kegiatan usaha pupuk organik (berupa kotoran kambing), jasa pemotongan kambing, penyamakan kulit, kerajinan kulit, penjualan daging kambing dalam berbagai bentuk hidangan, pembuatan krupuk kulit, dan lain-lain.
Selain program dombanisasi, ibu-ibu PKK juga diberi modal sebesar Rp 1 juta untuk kredit candak kulak. Bupati yang berlatar belakang akademisi ini juga mengatakan bahwa kredit yang diberikan kepada orang miskin lebih mudah untuk dikelola dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada tokoh masyarakat seperti program KUT (Kredit Usaha Tani). Seorang penjual kue di pasar hanya membutuhkan modal seratus ribu dan dengan demikian sektor riil akan tetap berjalan dan si penjual bisa bertahan dengan modal yang tidak begitu besar.
Sementara itu contoh dari “walfare state” seperti negara-negara di Skandinavia  menarik juga diamati. Karena gas dinilai sebagai kebutuhan dasar masyarakat, maka pemerintah Swedia menggratiskannya. Di Finlandia misalnya, orang kaya harus membayar pajak yang sangat tinggi untuk mensubsidi orang miskin. Dengan demikian sistem jaminan sosial untuk masyarakat miskin dan kelompok rentan seperti para lanjut usia, mendapatkan jaminan sosial yang cukup baik di negara-negara tersebut.


Referensi :
Fuadi, Ahmad Helmi; Dati Fatimah dkk. Memahami Anggaran Publik. Idea Press. Yogyakarya, 2002.
Pendekatan Praktis Penerapan Kebijakan Pro-poor-Budget. WWF. Jakarta, 2005.
Winasa, Prof.DR.drg. I Gede. Paradigma Baru Pemberian Pelayanan di Daerah (Makalah).
Subiyanto, Ibnu. Fungsi Dinamisator dalam Penganggaran (Makalah).
Pelajaran Berdemokrasi dari Finlandia . Kompas, Senin 23 Januari 2006.   



[i] Disampaikan oleh Ramlan Nugraha, pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Jawa Barat dalam Stadium General Musda KAMMI Daerah Jember pada 20 Maret 2011.

Rabu, 18 Januari 2012

Mengembangkan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Organisasi Kemahasiwaan


Hari ini dunia pendidikan di Indonesia kembali di ramaikan dengan wacana menggagas “pendidikan karakter”. Wacana ini di gagas oleh SBY pada saat perayaan hari pendidikan nasional 2010. Yang kemudian di tindak lanjuti oleh kementrian pendidikan nasional kala itu dengan menggandeng beberapa ahli dan perguruan tinggi untuk konsen pada proyek pendidikan karakter ini. tidak hany kemendiknas waktu itu, kementrian agama dan kementrian kebudayaan pun ikut berusaha menerjemahkan bagaimana konsep pendidikan karakter tersebut dengan tajuk pembangunan karakter bangsa. Akhirnya dibuatlah sebuah kebijakan oleh kemendiknas saat itu mengenai pendidikan karakter, kemudian kemendiknas membuat ciri bangsa yang berkarakter adalah, bangsa yang bergotong royong, patriotis, dinamis, berorientasi pada IPTEK serta dilandasi dengan jiwa ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun kebijakan yang ditelurkan oleh tiga kementrian tersebut masih bersifat normatif, abstrak dan sangat ideal. Seharusnya ada sebuah panduan konkrit implementasi pendidikan karakter tersebut. karena ketiga kementrian waktu itu ternyata mempunyai konsep masing-masing sehingga membuyarkan pendidikan karakter yang memang khas dan sesuai dengan bangsa Indonesia. Maka diperlukan sebuah formulasi khusus yang komperhensif tentang pendidikan karakter yang  memang sesuai dengan sosio-kultural Indonesia.
Namun sebenarnya pendidikan karakter bukan barang baru, hanya saja barang lama yang dikemas baru. Jika dilihat dahulu Soekarno pernah mengagas tentang Bangsa Indonesia Yang Berdikari, yaitu berdiri dengan kaki sendiri, artinya bangsa yang mandiri dan pekerja keras. Masih menurut Soekarno, dalam bukunya “di Bawah Bendera Revolusi”, di jabarkan tentang karakter yang harus melekat pada Bangsa Indonesia, yaitu karakter bangsa Indoinesia bukan karakter bangsa yang ngak-ngik-ngok, tidak punya jati diri dan terhegemoni oleh pihak asing. Jadi dapat disimpulkan karakter bangsa Indonesia adalah bangsa yang pekerja keras, tidak loyo, teguh pendirian, ramah, bergotong royong dan percaya pada kemampuan diri. Dan menurut pendapat saya, ini lah yang kiranya harus di bangun oleh sistem pendidikan kita jika ingin mengembangkan karakter bangsa pada setiap diri anak bangsa. Namun perlu dipahami bersama pendidikan karakter bukan terejawantahkan dalam sebuah kebijakan yang berupa kurikulum dan nantinya menjadi sebuah mata pelajaran baku di lembaga pendidikan formal, namun ia adalah sebuah hal yang harus terintegrasikan dalam sebuah proses pembelajaran, tidak hanya dalam tataran formal namun semua elemen bangsa Indonesia dari mulai pembuat kebijakan hingga masyarakat harus berperan serta dalam membangun karakter bangsa.
Secara harfiah karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi (Hornby dan Panwell,1972:49); karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia); mempunyai watak, kepribadian (Kamisa,1997:281); kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat relative tetap (Dali Gulo,1982:29), dan akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain (M. Furqon,2009:9).
Berdasarkan hal diatas, meskipun penulis masih terbatas dalam hal keilmuan, namun setidaknya ada beberapa hal yang coba ingin di kontribusikan untuk kemajuan bangsanya. Gagasan ini hanya gagasan sederhana tentang bagaimana peran sebuah Organisasi Kemahasiswaan dalam membentuk karakter mahasiswanya. Jika disimpulkan dari semua definisi yang ada tentang karakter maka dapat diambil beberapa nilai-nilai dari karakter, diantaranya amanah, kejujuran, kerja keras, ramah sikap saling menghargai terutama dalam perbedaan, solutif. Ini beberapa nilai yang penulis fahami yang harus menjadi karakter semua mahasiswa, utamanya para mahasiswa yang dikatakan “aktivis”. Karena secara tidak langsung aktifitas dalam organisasi itu akan membentuk karakter seseorang. Karena ini relevan dengan teori behavioristik, dimana lingkungan juga mampu mempengaruhi sifat dan karakter seseorang.
Karena dalam organisasi kita akan bertemu dengan banyak individu yang kemudian mempunyai perbedaan latar belakang, maka kita disana belajar untuk memahami, bersikap saling menghargai, terlebih ketika beradu pendapat, ternyata gagasan teman kita lah yang lebih di terima,maka disana terjadi pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam dinamika organisasi. Selain itu pun dalam dunia organisasi sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah itu pun menjadi nilai lain dari karakter yang di dapat dari berorganisasi. Kemudian penumbuhan nilai-nilai karakter untuk mahasiswa lain pun bisa digagas melalui berbagai program dari organisasi tersebut, contoh paling sederhana adalah kegiatan pengabdian pada masyarakat, dimana melalui kegiatan itu kita belajar bagaimana bergotong royong, kemudian semakin menumbuhkan kepekaan terhadapa kondisi lingkungan sekitar.
Selain itu juga penciptaan budaya organisasi yang sehat, meruapakan cara kesekian dalam membentuk karakter mahasiswa, utamanya pengurusnya, dimana organisasi yang akuntabel kemudian transparansi menjadi sebuah karakter organisasi yang dengan sendirinya akan terinternalisasi ke dalam setiap diri pengurus minimalnya. Berdasarkan hal ini, sudah seharusnya institusi pendidikan tinggi mulai menggandeng organisasi untuk mengembangkan pendidikan karakter untuk mahasiswa, bukan hanya dalam kegiatan yang bersifat seremonial, macam seminar atau yang lainnya, namun sinergi ini dibentuk secara berkepanjangan, karena memang melalui sinergi ini akan terjadi simbiosis mutualisme, diamana institusi menginginkan mahasiswa yang mempunyai karakter dan siap berdaya saing, sedangkan organsasi membutuhkan mahasiswa untuk meneruskan estafeta kepemimpinan.

Selasa, 17 Januari 2012

Geliat Program Mobil Nasional


Masyarakat di Indonesia saat ini sedang di ramaikan oleh berita-berita yang suguhkan oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik. Berita tersebut tak lain adalah berita mengenai program mobil nasional yang pertama kali di wacanakan oleh Walikota Surakarta Joko Widodo dengan mengganti mobil dinas lamanya dengan mobil buatan siswa SMK bernama “Esemka”. Munculnya mobil “Esemka” seharusnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk kembali menghidupkan geliat industri mobil nasional. Fenomena mobil ini sangat luar biasa, belum juga diproduksi secara masal, karena memang ada beberapa tahapan menguji kelayakan mobil tersebut, para pejabat serta artis di negeri ini mulai ramai untuk ikut memesan mobil tersebut. Kemunculannya pun hari ini tidak lagi dipandang sebelah mata, sekarang semua tingkatan pemerintah, mulai dari daerah hingga pusat ramai-ramai mendesak presiden untuk segera mengeluarkan kebijakan terkait mobil nasional.
Industri mobil nasional memang perlu mendapat dukungan bahkan dan pembuatan kebijakan dari pemerintah untuk memulai kembali geliat industri mobil nasional, hal ini dirasa perlu karena akan meningkatkan daya saing bangsa di dunia global. Selain juga program mobil nasional memungkinkan bangsa ini kembali diperhitungkan dalam kancah industri global. Program mobil nasional memang bukan barang baru, bahkan saat tahun 1985 melalui PT. Astra Internasional, Indonesia serta negara tetangga, didukung serta mendapat berbagai kemudahan dalam memulai program mobil nasional. Namun ternyata dalam perjalanannya bangsa kita jauh tertinggal dari negara tetangga kita. Melihat fenomena mulai menggeliatnya program mobil nasional saat ini, merupakan momentum untuk bangkitnya mobil nasional. Ada beberapa hal yang dapat di lakukan pemerintah dalam mendukung program mobil nasional, diantaranya : memberi kemudahan pinjaman modal seperti bunga yang rendah, memudahkan perizinan, membantu promosi, pembebasan biaya uji kelayakan kendaraan, pengurangan biaya pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor, termasuk dukungan infrastruktur , serta ketersediaan suku cadang. Selain itu dukungan lain dari berbagai pihak bisa dilakukan dalam bentuk transfer teknologi, dan penjaminan kredit lunak dari bank nasional dan strategi marketing yang mampu bersaing dengan mobil asing. Dengan potensi pasar yang besar, maka ini akan mengatrol ekonomi bangsa indonesia menjadi lebih baik lagi.Namun kita juga tak boleh lupa akan unsur kualitas dari produk yang kita tawarkan, sehingga pada saatnya nanti mobil nasional siap bersaing di pasaran dengan mobil asing.
Namun ternyata munculnya progam mobil nasional, tidak diimbangi dengan perbaikan kualitas jalan yang hari ini masih dihadapkan dengan kondisi jalan berlubang, banjir serta kemacetan. Jangan sampai program mobil nasional ini menjadi euforia sesaat tanpa kita berfikir panjang tentang kesiapan infrastruktur, hal karena jika tidak ada perbaikan kualitas jalan maka kondisi lalu lintas kita akan semakin kacau, bahkan kota-kota yang terkenal dengan kemacetannya akan menjadi kota “mati”. Maka kemauan pemerintah untuk mendukung program mobil nasional harus segera di barengi dengan kebijakan perbaikan fasilitas jalan publik. Masalah selanjutnya adalah semakin murah nya harga mobil asing dan pajak yang rendah pula, maka jika ingin membangkitkan kembali program mobil nasional, maka pemerintah harus berani menaikan pajak bea masuk, termasuk pajak untuk mobil impor, dan pajak kendaraan juga harus dinaikan sehingga ketika program mobil nasional ini dimulai maka segala faktor pendukung telah siap untuk memuluskan program ini.


Peran dan Fungsi Ormawa Jurusan



Kampus merupakan sebua minatur dari kehidupan. Dikampuslah hadir orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda,baik dari perbedaa suku, golongan, agama, budaya dan bahkan perbedaan kepentingan hadir, tumbuh dan saling berinteraksi. Bermacam karakter mahasiswa muncul di dunia kampus, ada yang mempunyai karakter mahasiswa yang hanya konsen dalam kademik, sehingga ia terkesan ekslusif dan tidak mudah bergaul. Ada mahasiswa yang karakter dan orientasinya hanya untuk “hedonisme” artinya ia datang ke kampus hanya untuk menunjukan kakayaan dan kemewahan yang dimilikinya. Karakter selanjutnya mahasiswa yang sibuk dengan urusan organisasi dan cenderung meninggalkan bangku perkuliahan, atau organisasi merupakan kompensasi dari kegagalan ia dalam akademik, mahasiswa seperti ini biasanya mempunyai idealisme tinggi namun tidak mempunyai sebuah kontribusi yang signifikan bagi kemajuan organisasi atau kampusnya sendiri. Dan karakter mahasiswa terakhir adalah bisa dikatakan sosok karakter mahasiswa yang luar biasa, ia  tidak hanya bergelar aktivis saja, namun lebih dari itu ia mempunyai kemampuanyang menonjol pula dalam akademiknya. Dan mahasiswa seperti ini lah yang biasanya mempunyai peran yang sangat strategis, baik di organisasinya sendiri atau di kelasnya dalam fungsinya sebagai mahasiswa.

Maka untuk menjadi seorang mahasiswa yang mempunyai prestasi baik dalam akademik dan organisasi, kita tidak hanya harus baik dalam akademik saja yang ilmu nya sudah kita dapatkan di bangku kuliah. Untuk menjadi seorang mahasiswa yang berprestasi dalam organisasi maka kita harus aktif pula dalam oraganisasi kemahasiswaan baik tingkat jurusan, ataupun universitas baik intra maupun ekstra kampus, yang dari sanalah kita bisa belajar berinteraksi dengan manusia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.  

Memaknai organisasi mahasiswa dalam perannya sebagai wadah dalam membina dan mengembangkan kompetensi mahasiswa. Dari ormawa inilah diharapkan akan lahir sosok-sosok calon pemimpin bansga di masa depan yang kemudian ia akan menentukan arah dan tujuan dari bangsa ini. Artinya ormawa yanga ada dikampus haruslah mempunyai peran dan fungsi mengembangkan mahasiswa nya.

Dalam lingkup jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) yang bertugas menyiapkan calon-calon konselor masa depan yang akan menentukan arah kemajuan Bimbingan dan Konseling Indonesia, maka diperlukan pula organisasi kemahasiswaan yang mampu mewadahi pengembangan kompetensi soft skill mahasiswanya. Maka dalam hal ini, HMJ PPB lah yang harus mengambil peranan itu, sedikit menyitir perkataan ketua jurusan PPB Dr. Suherman, M.Pd, ia mengatakan “HMJ harus menjadi wahana pembelajaran bagi mahasiswa PPB”. Maka jelas lah peran dan fungsi HMJ PPB itu, ormawa inilah yang harus bisa mewadahi dan memberikan sarana bagi mahasiswa PPB dalam rangka aktualisasi diri baik dalam skill organsasinya ataupu minat dan bakat yang menjadi potensi diri mahasiswa itu sendiri. Artinya keberadaan ormawa / HMJ PPB harus bisa terasakan manfaatnya oleh mahasiswa. HMJ harus bisa bersinergi dnegan birokrat jurusan dalam rangka peningkatan kemampuan pengembangan profesi dalam hal ini konselor.

Inilah sejatinya peran ormawa jurusan dalam hal ini HMJ PPB, yaitu program yang di buat harus meliputi pengembangan penalaran dan keilmuan, minat dan bakat, kesejateraan mahasiswa, bidang organisasi, iman dan taqwa, sosial dan program penunjang lainnya, yang kesemuanya itu adalah dalam rangka pengembangan potensi mahasiswa PPB itu sendiri. Namun tidaklah cukup ormawa itu berkarya hanya dalam ruang lingkup jurusan saja, ormawa tingkat jurusan pun harus peka dan responsif terhadap isu-isu kekinian yang terjadi baik daerah maupun nasional. Dalam hal ini tentu berdasarkan pada koordinasi dan komando dengan ormawa lain di kampus dan ormawa yang mempunyai otoritas kebijakan tertinggi di kampus dalam hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas, sehingga diperoleh sinergisitas dengan elemen mahasiswa seluruh kampus. Hal ini lah yang menjadi bukti pengabdian dan keseriusan ormawa jurusan dalam membina dan mencerdaskan mahasiswa. Dan hal lain yang tidak kalah pentingnya bahwa ternyata ormawa jurusan lah yang menjadi peletak batu pertama pengetahuan dan kemampuan berorganisasi sehingga mahasiswa siap ketika ia harus hadir dan mengambil peranan lebih besar di tingkat universitas atau dalam lingkup yang lebih besar dibanding hanya sekedar tataran jurusan saja.

Maka akhir kata inilah yang harus disadari dan diyakini bersama oleh semua aktivis kemahasiswaan akan pentingnya keberadaan ormawa jurusan, karena hari ini ormawa jurusan sedikit demi sedikit telah kehilangan perannya, ormawa jurusan lebih hanya bersifat sebagai sebuah Event Organizer (EO) yang hanya membuat program/kegiatan tanpa mempunyai out put atau out come yang jelas. Atau bahkan ormawa hanya menjadi tempat “nongkrong” atau pelarian dari  mahasiswa yang gagal dalam hal akademik. Namun lebih dari itu ormawa jurusan adalah lembaga intra universiter non struktural yang bersinergis secara profesional dengan jurusan dalam rangka mengembangkan penalaran keilmuan serta memberikan pencerdasan kepada mahasiswa akan fungsi dan peran mahasiswa itu sendiri dalam rangka mengabdi untuk almamater dan Bangsa.


PERGURUAN TINGGI DAN IMPLEMENTASI UU KIP


Pada era Reformasi hari ini begitu banyak dinamika yang terjadi dalam sistem pemerintahan bangsa ini. Sejalan dengan tuntutan era reformasi dan demokrasi, maka rakyat mempunyai hak untuk mengetahui dan mengakses setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini. Oleh karena itu dalam menyikapi kebutuhan rakyat tersebut, pada masa ini pemerintah mulai membuka kran keterbukaan informasi bagi masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki ruang lebih terbuka untuk memperoleh informasi dari Badan Publik Pemerintah maupun Badan Publik non-Pemerintah dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Dengan semakin diperlukannya keterbukaan informasi, upaya Pemerintah bersama DPR berhasil melahirkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Semangat dasar UU KlP adalah menjamin hak warga negara untuk mendapatkan informasi publik sebagai bagian penting dari hak asasi manusia. Deklarasi PBB No 59 ayal 1 Tahun 1946 menegaskan bahwa hak atas informasi merupakan hak asasi fundamental dan merupakan tanda dari seluruh kebebasan yang akan menjadi pusat perhatian PBB. Abid Hussein, seorang pelapor HAM PBB, menambahkan bahwa hak atas informasi (right to information) merupakan salah satu hak asasi manusia yang penting sehingga berbagai tendensi yang berusaha membatasi informasi haruslah diperhatikan (Santosa, 2003, h 11).
Di level nasional, keterbukaan informasi bagi publik yang diatur dalam undang-undang tersebut merupakan sebuah jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi terkait dengan penyelenggaraan negara. Hak mendapatkan informasi juga diatur dalam UUD 1945 pasal 28F yang berbunyi, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Keterbukaan informasi sejalan dengan salah satu pilar reformasi yakni transparansi. Secara komprehensif UU KIP mengatur mengenai kewajiban badan/pejabat publik dan bagi lembaga masyarakat/ badan publik non Pemerintah lainnya untuk dapat memberikan pelayanan informasi yang terbuka, transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat. Dan selain itu pula UU KIP ini begitu sangat melindungi hak setiap rakyat dalam mendapatkan informasi. Lahirnya UU KIP ini juga mengubah paradigma berpikir, baik masyarakat maupun penyelenggara negara. Sebelun UU KIP lahir paradigma terhadap informasi penyelenggaraan negara yang terjadi adalah ”Infromasi penyelenggaraan negara bersifat rahasia, kecuali sebagian kecil yang dibuka untuk masyarakat”. Setelah UU KIP lahir paradigma tersebut harus berubah menjadi ”Setiap informasi penyelenggaraan negara bersifat terbuka , hanya sebagian kecil yang dikecualikan.”
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik akan memaksa tradisi pemerintahan yang tertutup untuk berubah menjadi tradisi yang terbuka. Mandat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah untuk membuka informasi yang selama ini dikatakan sebagai rahasia negara jelas disampaikan dalan undang-undang ini. Bahkan tidak hanya terhadap birokrasi (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) saja, tetapi juga penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional, universitas merupakan sebuah badan publik penyelenggara negara dalam bidang pendidikan yang mengurusi jenjang pendidikan tinggi. Anggaran bagi pelaksanaan universitas juga ditopang oleh APBN dan pembayaran biaya pendidikan oleh mahasiswa. Tentunya jika merujuk pada pengertian badan publik dalam UU KIP, universitas merupakan salah satu badan publik yang wajib membuka informasi bagi masyarakat dan mahasiswa atau pun civitas akademika yang lain. Dengan kata lain, sejak UU KIP ini berlaku per 30 April 2010, maka Universitas wajib menyediakan informasi baik yang bersifat serta merta, berkala, maupun tersedia setiap saat. Sebagaimana konsepsi demokrasi tentang negara, yaitu negara dibentuk oleh rakyat dan rakyat yang memegang kendali atas berjalannya praktek negara. Jadi dengan kata lain sudah menjadi hak nya kita sebagai mahasiswa untuk kemudian meminta transparansi kebijakan dari kampus. Bahkan dalam hal ini masyarakat dan mahasiswa begitu sangat dituntut pro aktif dalam menggunakan hak atas informasi. Sehingga terjadi pengawasan yang betul-betul terhadap jalannya roda pemerintahan dalam sebuah badan publik, dan sekaligus memimalisir kecurangan-kecurangan yang menjadi akar dari korupsi.

Senin, 16 Januari 2012

Menuju kampus UPI yang “good Governance”



Tulisan ini dibuat dalam rangka menuangkan gagasan yang berserakan dalam pikiran penulis, mencoba membuatnya lebih sistematis ke dalam sebuah urutan kata menjadi sebuah kalimat hingga selanjutnya menjadi sebuah gagasan yang lengkap, meskipun diakui ini hanya gagasan dari seorang mahasiswa yang sedang belajar menuangkan gagasannya ke dalam tulisan, dengan maksud untuk berbagi pengetahuan serta mencoba melihat keadaan kampusnya yang hari ini katanya telah atau sedang menerapkan konsep “good governance”.

Konsep good governance sendiri sebetulnya sudah muncul 125 tahun lalu, yang diperkenalkan oleh Wodrow Wilson, dalam literatur administrasi dan ilmu politik. Namun konteks penggunaannya masih dalam tataran organisasi korporat dan perguruan tinggi. Sedangkan di indonesia istilah ini muncul sekitar 15 tahun yang lalu, ketika lembaga-lembaga donor internasional mulai mempersyaratkan “good governace”, dalam berbagai program bantuan yang digagasnya. . Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Namun ternyata ada perbedaan antara konsep “goverment” dan “governance”, yaitu, terletak pada penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi, dan adiministrasi dalam pengelolaan urusan sebuah bangsa. Jika konsep “government” maka pemerintah mempunyai wewenang yang dominan dalam penyelenggaraan berbagai otoritas diatas. Sedangkan “Governance” mengandung arti bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekusaan dalam mengelola segala potensi yang dimiliki oleh bangsa tersebut dan memanage bagaimana mengatasi masalah yang terjadi pada bangsa tersebut. Jika “goverment” dipandang sebagai sebuah institusi atau lembaga, maka “governance” adalah sebuah proses dalam setiap penyelenggaran otoritas, dan “governance” juga dilihat dalam sudut pandang “kita” bukan “mereka”.
Secara sederhana, good governance adalah rangkaian pembuatan kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya good governance berfokus pada aktor atau dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal. Yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah sebagian atau salah satu faktor saja, masih ada unsur lain, diluar pemerintah dan militer yang dikenal dengan civil society. Begitu pula dalam pengambilan keputusan, pemerintah dan jajarannya hanya salah satu unsur saja, masih ada unsur lain yang juga mesti didengar atau juga berpengaruh terhadap setiap kebijakan yang diambil. Good governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu :

Participation / Partisipasi
Partisipasi oleh pria dan wanita adalah kunci good governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan sebuah civil society yang kuat dan terorganisir di sisi lain.

Rule of law
Good governance memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM, terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga imparsial dan tidak korup.

Transparency/Transparansi
Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.

Responsiveness
Good governance memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.

Consensus oriented
Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat tersebut.

Equity and inclusiveness
Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.

Effectiveness and efficiency
Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan perlindungan lingkungan.

Accountability
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya transparansi dan supremasi hukum.

Good University Governance
Pada dasarnya pendidikan tinggi memiliki perbedaan dengan dunia korporasi atau negara sekalipun. Dunia kampus masih memiliki independensi dan terlepas dari berbagai kepentingan, meskipun hari ini  disinyalir dunia kampus pun sudah tidak lagi bersih dari kepentingan-kepentingan politik. Institusi pendidikan dijalankan sebetulnya untuk memebentuk sebuah komunitas intelektual. Komunitas ini selanjutnya diharapkan mampu menjadi sebuah komunitas yang mampu memberikan inovasi-inovasi dan pemikiran serta solusi dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi oleh kampus sendiri, masyarakat sekitar serta bangsa. Komunitas pendidikan ini pula dijadikan sebagai garda dalam menjadi nilai-nilai luhur sebuah bangsa termasuk adat istiadat dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan peranannya ini, komunitas pendidikan ini begitu mendapat posisi yang terhormat ditengah masyarakat. Dan menjadi harapan dalam mengakhiri segala krisis yang terjadi di bangsa ini.
Secara hakikatnya institusi pendidikan mempunyai peranan dalam transfer ilmu pengetahuan dan diharapkan menjadi komunitas yang memegang tegus nilai-nilai ideal yang harus dijunjung tinggi dan di jaga oleh suatu bangsa. Ia juga diharapkan mempunyai imunitas yang tinggi dalam melindungi diri dari berbagai kepentingan, atau nilia-nilai korup yang dikhawatirkan merusak tatanan komunitas tersebut. Selain itu indepedensi juga mendukung terwujudnya inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun nyatanya, apa yang diharapkan pada perguruan tinggi hari ini seakan tidak terjadi, institusi pendidikan tinggi, seakan seperti menara gading yang ekslusif dan terpisah dari masyarakat dan tidak peduli pada permasalahan yang menimpa bangsanya. Melihat kondisi hari ini, ternyata peranan institusi pendidikan tinggi begitu besar dan luas, pendidikan tinggi pun seyogyanya mampu menyeimbangkan perannya sebagai pusat intelektual tapi harus juga relevan dengan kondisi sosial disekitarnya atau bangsa. Maka untuk menghindari kepentingan-kepentingan yang dapat merusak peran perguran tinggii, maka konsep good governance dirasa penting diterapkan dalam setting pendidikan tinggi di indonesia.
Dalam impelentasinya sebuah institusi pendidikan tinggi harus memenuhi 8 prinsip good governance, karena nilai-nilai dasar good governance juga masih relevan untuk diimplementasikan di pendidikan tinggi, hanya saja berbeda pada nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip good governance hendaknya mendukung fungsi dan tujuan dasar pendidikan tinggi.
Sebenarnya konsep good governance untuk wilayah asia tenggara, khususnya indonesia masih mencari bentuk yang pas dan sesuai dengan keadaan pendidikan tinggi di negara ini. Ada dua konsep good governance sebenarnya, yaitu yang biasa diterapkan di Amerika serikat dan Eropa. Jika di Amerika serikat good governance diartikan sebagai otonomi seluas-luasnya dari berbagai kebijakan, baik yang menyangkut akademik maupun aspek manajerial, operasional dan pembiayaan. Namun jika di eropa pendidikan tinggi mempunyai otonomi luas dalam hal akademis namun masih bergantung pada pemerintah untuk pembiayaan.

Good Governance dalam Konteks ke-UPI-an.
Wacana good university governance sepertinya telah menjadi sebuah wacana umum yang cukup menarik untuk diadopsi dalam pencarian bentuk governance yang baik untuk PTN-PTN tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan good university governance ini, terutama dalam hal penerapan prinsip-prinsip atau karakteristik dasarnya.

Penentuan stakeholders. Inti dari proses governance yang baik adalah bagaimana hubungan antar stakeholdersdidalamnya. Untuk itu, maka kita terlebih dahulu perlu mendefinisikan siapa para stakeholders tersebut. Stakeholderpertama adalah warga kampus, yaitu manajer eksekutif, mahasiswa, dosen, karyawan, dsb. Yang kedua adalah pihak-pihak diluar PTN yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keberadaan PTN. Kelompok stakeholderskedua ini berarti termasuk negara sebagai institusi yang menaungi PTN, masyarakat umum, calon mahasiswa baru, sektor swasta dan sebagainya. Masyarakat secara umum merupakan entitas yang mendasari munculnya pendidikan tinggi, dan pada dasarnya pendidikan tinggi dibangun untuk mengabdi pada masyarakat, tidak hanya untuk membekali individu-individu dalam memperoleh pekerjaan yang layak baginya. Penyelenggara PTN pada hakikatnya harus mampu memberikan pertanggungjawaban pada seluruh stakeholders ini.

Pendefinisian peranan dan tanggung jawab masing-masing stakeholders. Hal ini harus didahului dengan pembangunan kesadaran dalam diri seluruh stakeholders bahwa mereka memiliki kepentingan dan karenanya harus turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan PTN. Dalam konsep BHMN, lembaga yang mungkin dapat disebut sebagai Dewan PTN atau representasi dari seluruh stakeholders adalah MWA (Majelis Wali Amanat) masing-masing PTN. MWA inilah yang kemudian harus berperan sebagai pihak yang mampu mengelola dan mengarahkan perubahan-perubahan atau pembangunan di PTN-nya.

Partisipasi. Partisipasi atau pelibatan aktif dari seluruh stakeholders merupakan sesuatu yang vital dalam penyelenggaraan governance yang baik. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila dari pihak stakeholders sendiri memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dan ada kesempatan atau fasilitas yang terbuka seluas mungkin untuk itu. Kesempatan dan fasilitas ini harus disediakan oleh pihak penyelenggara perguruan tinggi (Dalam hal ini MWA dan manajer eksekutif atau jajaran rektorat). Partisipasi atau pelibatan ini harus terbuka dalam setiap langkah dalam proses pembangunan atau penyelenggaraan perguruan tinggi. Artinya, usaha pelibatan harus mulai dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selama ini, dalam praktiknya, usaha pelibatan atau kesempatan partisipasi hanya diberikan pada tahap implementasi sebuah program, sementara belum tentu seluruh stakeholdersmenyetujui program tersebut. Yang lebih parah lagi, “kesempatan” itu seringkali lebih bersifat sosialisasi program dari rektorat pada stakeholders. Seluruh stakeholders sudah harus mulai diberi kesempatan berpartisipasi sejak awal perencanaan program-program dan sasaran kedepan. Hal ini penting untuk menjaga komitmen seluruh stakeholdersdan menjadi basis legitimasi program-program pembangunan.

Penegakkan hukum. Pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi tidak mungkin dapat berjalan dengan kondusif apabila tidak ada sebuah hukum atau peraturan yang ditegakkan dalam penyelenggaraannya. Aturan-aturan itu, berikut sanksi-sanksinya, hendaknya merupakan hasil konsensus dari stakeholders, untuk meningkatkan komitmen dari semua pihak untuk mematuhinya. Aturan-aturan itu dapat disusun dalam bidang akademik maupun non-akademik. Yang perlu diperhatikan adalah aturan yang dibuat tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasanstakeholders untuk berekspresi, melainkan untuk menjaga keberlangsungan pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi dengan seoptimal mungkin.

Transparansi. Transparansi atau keterbukaan merupakan sebuah prasyarat dasar untuk menunjang adanya partisipasi dan menjaga akuntabilitas institusi. Proses partisipasi memerlukan ketersediaan informasi yang memadai dan kemudahan bagi seluruh stakeholders dalam mengakses informasi tersebut. Selain itu, transparansi memungkinkan seluruh stakeholders untuk dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja institusi. Dalam hal anggaran atau keuangan, transparansi ini menjadi sangat urgen terutama dalam era BHMN, mengingat arus perputaran uang dalam institusi perguruan tinggi menjadi lebih besar dan kompleks. Akan tetapi, transparasi ini hendaknya tidak hanya dalam hal anggaran, melainkan seluruh dinamika yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan perguruan tinggi.

Responsivitas. Sifat responsif ini dapat kita bagi dalam dua konteks. Pertama, pihak penyelenggara PTN (MWA dan rektorat) harus mampu menangkap isu-isu dan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan PTN tersebut. Mereka harus mampu merespon harapan-harapan stakeholders dan menyikapi permasalahan yang terjadi. Yang kedua, dalam konteks yang lebih luas, PTN secara institusi harus mampu bersikap responsif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan mempu bertindak atau berpartisipasi untuk menyikapinya. Pada dasarnya, pendidikan tinggi harus mampu responsif untuk menyikapi permasalahan-permasalah di bangsa yang menaunginya dan selalu berusaha untuk memenuhi harapan-harapan dan amanat yang diembannya dari masyarakat.

Orientasi pada konsensus. Proses pengambilan segala keputusan atau kebijakan dalam penyelenggaraan PTN hendaknya mengutamakan konsensus atau kesepakatan dari stakeholders.

Persamaan derajat dan inklusivitas. Seluruh prinsip-prinsip tadi hanya mungkin terwujud apabila ada satu kesepahaman mengenai persamaan derajat (equity) setiap entitas stakeholders. Artinya, paradigma yang dipakai bukanlah hierarkikal atau ada satu kelompok yang derajatnya lebih tinggi dibanding kelompok lain. Sebaliknya, paradigma yang dipakai adalah persamaan derajat dan adanya pemahaman bersama bahwa perbedaan antarstakeholders sebenarnya terletak pada peranan, tanggung jawab, dan amanat yang diemban. Dengan begitu akan tercipta rasa saling menghargai dan menghormati antar stakeholders, mengingat penyelenggaraan PTN tidak akan berjalan dengan baik apabila salah satu dari peran masing-masing stakeholders tidak berfungsi. Selain itu, perlu dihilangkan kesan eksklusif, terutama dari MWA dan rektorat sebagai pihak yang diserahi amanat dan kewenangan untuk memimpin dan me-manage penyelenggaraan PTN, agar tercipta rasa kepemilikan dan komitmen yang besar dari semua stakeholders dan menciptakan pola hubungan yang baik antar stakeholders.

Efektifitas dan efisiensi. Output dari seluruh proses penyelenggaraan atau program-program yang digariskan harus tepat sasaran (efektif) atau sesuai dengan kebutuhan dan harapan stakeholders. Yang terutama adalah efektif dalam menunjang fungsi-fungsi pendidikan, khususnya dalam hal peningkatan mutu akademik dan riset. Selain itu, penyelenggaraan PTN juga harus efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya.
Akuntabilitas. Institusi PTN harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh rangkaian proses penyelenggaraan PTN terhadap seluruh stakeholders, baik internal maupun eksternal, terutama pada masyarakat umum. Pertanggungjawaban ini dapat dilakukan secara rutin dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, dalam hal anggaran setiap tahun perlu dilakukan proses audit, baik audit internal maupun audit eksternal yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil audit maupun laporan pertanggungjawaban lain harus dengan mudah dapat diakses oleh seluruhstakeholders. Selain itu, untuk mendukung akuntabilitas ini, prinsip transparansi juga harus diterapkan dengan benar.

Values yang harus dijunjung tinggi PTN. Seluruh prinsip ini harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan tujuan dasar yang dianut dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan diterapkan untuk menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi dasar perguruan tinggi. Perguruan tinggi mengemban amanat dan harapan yang besar dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga penyimpangan dari nilai-nilai ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanat dan harapan itu.

Contoh yang paling kentara di kampus ini adalah masalah pembiayaan. Biaya penyelenggraan pendidikan di kampus ini sebagian besar bergantung pada pemerintah. Namun sekarang sudah beralih untuk bisa mandiri. Sebenarnya jumlah subsidi tidak berkurang, namun kebutuhan biaya pendidikan semakin tinggi yang menyebabkan kampus harus memutar otak untuk mencari pendanaan diluar subsidi pemerintah. Nah, jika kampus ini hendak menerapkan konsep tersebut, maka langkah pertama yang harus di lakukan adalah pihak penyelenggara dalam hal ini rektoran, MWA atau untuk BLU adalah majelis pemangku mendefinisikan atau menentukan stakeholder atau pihak yang berkepentingan dengan pembiayaan kampus. Mengingat MWA adalah representasi dari stakeholder maka MWA diharuskan untuk turun ke basis masa, untuk mendapatkan masukan atau aspirasi. Setelah itu baru stakeholder yang lebih luas yang dimintai pendapat terhadap permasalahan ini. Stakeholder ini diajak untuk memikirkan mulai dari tahap identifikasi, perencanaan, implementasi dan evaluasi progam yang berjalan, meskipun segala kewenangan akhirny ada di MWA dan rektorat, namun karena prinsip adanya persamaan derajat serta inklusifitas, maka pengambil kebijakan mempunyai keharusan pula untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Setelah itu menentukan jalan keluar yang memang tidak menyimpang dari peran dan fungsi institusi pendidikan tinggi.

*) Disarikan dari berbagai sumber.

Minggu, 15 Januari 2012

Psikologi Korupsi


Artikel ini merupakan pandangan dari penulis yang sedikit banyak belajar psikologi, meskipun pada kenyataannya belajarnya hanya sedikit. Indonesia saat ini merupakan salah satu Negara di kawasan Asia yang memiliki rekor tertinggi untuk tingkat korupsi birokrasinya. Hal ini terlihat dari beberapa survey lembaga-lembaga yang konsen pada masalah korupsi, baik dalam maupun luar negeri. Sebelumnya kita bicara sedikit mengenai korupsi. Definisi korupsi hari ini sudah mulai menyempit, yaitu lebih pada korupsi birokrasi atau korupsi pada ranah publik. Secara sederhana adalah jika kita menggelapkan uang SPP untuk kepentingan pribadi itu bukan korupsi melainkan hanya usaha penipuan atau pencurian biasa saja. Sedangkan korupsi pada ranah publik sendiri menurut Arrigo dan Clausen (2003), yaitu mengambil atau menerima keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hokum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Contoh seperti yang terjadi sekarang di bangsa ini, misal, kasus suap wisma atlet, kasus nya gayus tambunan dan berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini.
Secara psikologis, ada beberapa penyebab yang membuat orang berprilaku korup, diantaranya : Pertama, menurut pandangan teori behavioris, bahwa tingkah laku seseorang adalah fungsi dari lingkungannya. Tingkah laku yang Nampak atau yang terjadi adalah dikarenakan stimulus dari lingkungannya. Jadi jika kita hubungkan dengan kasus korupsi, maka didapat bahwa orang yang melakukan korupsi adalah dikarenakan dorongan dari lingkungannnya. Sehingga orang baik pun tak mampu menahan dorongan dari eksternal untuk berbuat korupsi. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan ruang seluas-luasnya bagi individu untuk melakukan korupsi. Namun pada kenyataanya berlaku juga prinsip interaksi antara faktor personality dan lingkungan. Ketika karakteristik kepribadian seseorang sudah sangat kuat, atau memiliki integritas. Pengaruh lingkungan bisa mengecil, namun ketika integritas kepribadian lemah, maka pengaruh tersebut bisa menjadi determinan perilaku yang menyebabkan korupsi.
Beberapa penelitian mengkonfirmasi tentang asumsi diatas, pada umumnya korupsi terjadi karena , kerusakan pda tatanan makro, dimana system hokum, politik, control transparansinya rusak. Sehingga mampu menjadi latar belakang yang menjadi stimulan. Selanjutnya adalah pada tatanan mikro dimana kelompok, departemen atau lainnya mempengaruhi. Dan terakhir memang karena faktor kepribadian yang sudah menunjukan sifat untuk berbuat curang.
Mengutif pendapat Anthonu Eden, dalam buku psikologi politik (Hamdi Muluk :2010), bahwa perilaku korupsi adalah sebuah tindakan terencana,bukan karena keterpaksaan, dilandasi motif tertentu (pada umumnya adalah karena keserakahan, atau kekuasaan serta pemenuhan gengsi). Namun dinamika terbentuknya perilaku lebih kepada apakah lingkungan menghambat atau malah memberikan kelonggaran untuk korupsi. Maka solusinya adalah pertama, lingkungan dalam hal ini Negara, departemen serta institusi harus dibenahi dalam bentuk perbaikan system politik, hukum serta transparansi yang jelas. Kedua, system rekrutasi untuk pegawai atau pelayan public harus dibuat transparan dan akuntabel serta mampu menjaring orang-orang dengan pola kepribadian tidak patologis.

Kepemimpinan: Bukan Hebat, Melainkan Teladan


Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel dengan judul “krisis keteladanan”, dimana isinya menjelaskan mengenai kondisi bangsa Indonesia yang sekarang sedang mengalami krisis, namun yang lebih para krisisnya adalah krisis keteladanan, dimana para public figure, kemudian pejabat Negara malah memberikan contoh perilaku yang buruk kepada rakyat bangsa ini. Tulisan ini pun hasil konklusi dari artikel yang ditulis oleh Prof. Dr Hamdi Muluk, guru besar psikologi politik Universitas Indonesia.
Krisis yang dialami oleh bangsa kita saat ini semakin berlarut dan tak kunjung usai, banyak hal yang kemudian dapat menjadi penyebab dari tak kunjung usainya masalah bangsa ini, namun salah satu yang dapat menjadi penyebab adalah ketiadaan pemimpin yang mampu memberikan kenyamanan kepada rakyat dan bangsanya. Pemimpin yang mampu memberikan teladan, bukan pemimpin yang sibuk dengan politik pencitraan.
Ada sebuah pernyataan yang menarik dari artikel ini, bahwa bangsa ini memerlukan pemimpin yang yang transformasional, tapi seorang pemimpin yang transformatonal tidak hanya cerdas, terampil punya initiating structure, consideration, melainkan juga harus kreatif, inovatif, punya visi kedepan, ideology, misi dan pemikiran yang strategis. Lalu jika melihat tipe yang ada diatas, rasanya sulit menemukan pemimpin yang mempunyai kualifikasi seperti itu, meskipun pasti ada, tapi hanya segelintir saja. Memang harus diakui juga apa yang ada diatas harus ada dalam diri seorang pemimpin, namun ada satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para pemimpin.
Ada contoh figure yang paling nyata, yang dapat dijadikan panutan bagi para pemimpin bangsa ini, sesosok manusia sempurna yang memiliki visi kepemimpinan yang begitu luar biasa sehingga tidak hanya sahabat, musuhnya pun mengakui akan kepemimpinan Rasululllah. Ia bukan seorang guru besar, atau ahli dalam ilmu kepemimpinan, ia pun belum mengenal teori-teori kepemimpinan seperti kita saat ini, namun ia ternyata memiliki kualitas akhlak dan keteladanan yang begitu mengagumkan.
Pemimpin adalah seorang yang harus terjaga akhlak dan tingkah lakunya, karena tak ayal seluruh tindak tanduk nya akan menjadi prototype bagi umatnya.selain itu ia pun harus mempunyai integritas serta seorang yang amanah. Secara sederhana pemimpin kita harus mirip seperti imam shalat, bahwa keseluruhan geraknya adalah contoh buat para makmumnya. Maka kalau ia salah maka otomatis akan diganti oleh yang lain, begitu pun dengan kepemimpinan bangsa ini, bahwa pemimpin bangsa ini jangan sampai salah melangkah, atau berbuat yang menyalahi hokum, karena jika seperti itu maka tidak akan jauh rakyatnya pun akan ikut bertingkah laku seperti pemimpinannya.
Jelaslah sekarang kasus korupsi menjamur, jika pemimpinnya saja memberikan contoh berbuat korupsi, bagaimana mau disiplin jika pemimpinnya saja datang ke tempat kerja selalu terlambat, bagaimana akan mengeluarkan bangsa ini dari krisis multidimensi apabila pemimpin bangsa ini masih bertindak inkonsistensi.
Maka jelaslah bahwa bangsa ini tidak butuh pemimpin yang hebat dan pintar, apabila kehebatannya dipakai hanya di manfaatkan untuk berbuat dzolim. Bangsa ini hanya membutuhkan sosok pemimpin yang memberikan teladan bagi semua rakyat di negeri ini. 

Sabtu, 14 Januari 2012

PEMILU Presiden dan Wakil Presiden Republik Mahasiswa


Mulai dari bulan ini hingga nanti pertengahan bulan Februari, kampus pendidikan ini kembali diramaikan dengan pesta demokrasi, ya, mahasiswa kampus pendidikan ini akan menentukan hak pilihnya untuk memberikan pilihan terbaiknya kepada dua pasang calon kandidat pimpinan lembaga kemahasiswaan tertinggi di kampus pendidikan ini. jika dilihat dua pasang kandidat ini sebetulnya sudah tidak asing lagi, tidak asing lagi untuk teman-teman dikelas dan angkatan serta jurusan, kawan-kawan aktivis mahasiswa, meskipun tidak semua mengenal juga ya hanya beberapa kalangan saja, serta beberapa petinggi kampus. dua pasang kandidat sekarang merupakan incumbent, karena sebelumnya sudah merasakan bagaimana berjuang selama satu peiode di lembaga legislatif tersebut. tulisan ini tidak akan membahas mengenai kedua kandidat tersebut, karena tidak penting juga nampaknya, namun tulisan ini akan coba membedah bagaiamana sebenarnya urgensi Pesta demokrasi kampus dalam hal ini PEMIRA serta apa manfaat bagi kita, sebagai mahasiswa yang dikatakan sebagai intelectual Minority. 

baik kita coba berbicara mengenai PEMIRA, hampir semua kampus di negeri ini sedang diramaikan dengan pemilihan pimpinan lembaga kemahasiswaan nya dalam hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa atau lembaga eksekutif, baru-baru ini sebuah kampus besar di kota pendidikan, Yogyakarta telah memilih pimpinan lembaga eksekutifnya, pun halnya dengan kampus eks-IKIP di Ibu kota, begitub pula kampus besar di kota hujan, atau kampus tertua di pinggiran kota Jakarta tepatnya daerah Depok serta kampus yang banyak menelurkan pengacara kondang pun sekarang telah berganti kepemimpinan, dan mulai hari ini hingga satu bulan kedepan kampus ini pun sedang bergeliat dengan pesta yang akan di gelar hingga nanti terpillih lah pimpinan yang baru. ada fenomena menarik yang terjadi selama mengkuti perkembangan PEMIRA ini dari tahun pertama saya masuk di kampus ini hingga saya menjadi peserta kampanya, tepatnya tahun kemarin, bahwa ternyata tingkat partisipasi dari mahasiswa di kampus ini masih sangat minim, bayangkan dari sekitar 30 ribu mahasiswa hanya sekitar 8 hingga 9 ribu mahasiswa yang berpartisipasi, kemudian juga tingkat partisipasi dari mahasiswa tepatnya kawan-kawan aktivis mulai tidak terlihat, dari tahun ketahun tidak lebih dari dua pasang yang akhirnya lolos verifikasi, bandingkan dengan kampus besar di Yogyakarta, dimana kandidat yang bertarung mencapai 6 kandidat. padahal jika dilihat posisi pimpinan lembaga eksekutif ini sangat bergengsi, bahkan dengan kita berada di lembaga ini, maka kita mampu memberikan kontribusi sebanyak-banyaknya bagi kampus ini, ya mengingat bahwa posisi tawar dari lembaga kemahasiswaan ini cukup tinggi dan diperhitungkan tidak hanya oleh pejabat kampus bahkan oleh pemerintah di republik ini. 

melihat fakta diatas seharusnya pesta demokrasi ini menjadi ajang bagi para aktivis yang peduli pada mahasiswa, kampus serta bangsanya untuk unjuk kebolehan, memperlihatkan kapasitas intelektualnya dan tentunya agar ia mendapat pilihan paling banyak agar mencapai tujuan menjadi pimpinan lembaga tersebut. namun ternyata PEMIRA tidak hanya cukup sampai disana, esensi PEMIRA bukan terletak pada bagaimana kandidat bisa menang dengan menggunakan berbagai cara, atau PEMIRA adalah ajang pertarungan ideologi meski itu tidak dapat dihindari, namun ada hal yang lebih penting yang harus menjadi perhatian kita semua.

pertama, bahwa PEMIRA ini pun seyogyanya menjadi ajang bagi kita, untuk belajar berdemokrasi, dimana setiap elemen mahasiswa itu berhak ikut berpartisipasi mencalonkan diri menjadi kandidat untuk di pilih oleh konstituennya, kandidat berdinamika dengan kandidat lainnya, menunjukan kebolehannya, memperlihatkan kapasitas serta pengatahuan agar mampu memikat para mahasiswa nya.  PEMIRA bukan hanya miliknya segelintir orang atau sekelompok golongan, tapi PEMIRA adalah milik semua mahasiswa kampus ini tanpa terkecuali. Kedua,  mahasiswa lain belajar bagaimana menjadi masyarakat yang berpartisipasi aktif dengan cara memberikan hak suaranya, karena satu suara akan menentukan masa depan gerakan mahasiswa di kampus ini. 

yang lebih penting, baik para kandidat maupun mahasiswa harus cerdas. artinya kandidat harus memberikan kreatifitas dan inovasi dalam setiap kampanye nya, bukan kampanye yang menjelekan kandidat lain, atau bahkan membodohi pemilih. para pemilih pun cerdas dalam melihat kapasitas kandidat, jika perlu datang dalam sesi kampanye dan ajukan pertanyaan atau pendapat agar mampu menguji sejauh mana kapasitas dari para kandidat, hal ini perlu agar kita tidak salah memilih karena masa depan gerakan mahasiswa di kampus ini ada ditangan kita, para pemilih. 

terakhir, mengutif dari salah satu kandidat Presiden di kampus besar di Yogyakarta, bahwa PEMIRA adalah ajang untuk mencerdaskan bukan untuk membodohi, menjelek-jelekan, menyakiti atau tinggi hati. tapi PEMIRA harus membumi dan memahami ke arah mana Gerakan mahasiswa dan kampus ini akan dibawa.PEMIRA pun bukan hanya sekedar ajang perebutan kekuasaan, namun ini adalah ajang berdemokrasi secara sehat serta ajang bagi kita untuk sama-sama belajar, ya belajar bagaimana menghargai, bertoleransi, bersikap jujur serta bijak dalam menyikapi apapun yang menjadi hasilnya nanti. dan siapapun yang masih peduli pada kampus ini, peduli pada bangsanya mari kita berkontribusi dengan cara memberikan hak suaranya saat masa pemungutan suara nanti.


Marilah kawan mari kita kabarkan,
di tangan kita tergenggam arah bangsa.
Marilah kawan mari kita nyanyikan,
sebuah lagu tentang perubahan.

Jumat, 13 Januari 2012

Krisis Keteladanan

Sudah terlalu capek rakyat negeri ini melihat berbagai macam permasalahan yang ditimbulkan oleh para pemimpinnya. Kasus korupsi yang merajalela, bak bola salju, dari mulai tingkat pemerintahan paling tinggi sampai terbawah ramai-ramai melakukan tindakan yang jelas-jelas sangat merugikan, bahkan bagi sang koruptor sendiri. Masalah berikutnya muncul dari dunia pendidikan, ternyata dunia pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candra dimuka penghasil generasi penerus yang berdedikasi serta memegang nilai-nilai kebenaran, malah yang terjadi sebaliknya, melalui oknum guru, murid-murid diajarkan bagaimana untuk berbuat curang, dan celakanya itu dilakukan secara berjama’ah dari mulai pemangku kebijakan, guru sampai murid itu sendiri. Lain lagi dengan public figure yang justru memberikan efek negatif terhadap perkembangan kepribadian kaum muda terutama remaja di negeri ini. Mulai dari para artis yang bergaya hedonis dan  ternyata juga mengkonsumsi narkoba, berpakaian yang tidak senonoh, bahkan perbuatan mesum dilakukan tanpa rasa malu, dan lebih parahnya lagi mereka masih menjadi idola remaja negeri ini. Belum lagi para pemimpin negeri ini yang sibuk dengan politik pencitraannya, dan sangat disayangkan ternyata para pemimpin negeri ini belum mampu membuat formulasi yang tepat untuk mengatasi krisis yang melanda negeri ini. Mari sejenak kita tengok negara yang porak poranda pasca Tsunami beberapa bulan lalu, ya Jepang,  Ketika Jepang luluh lantak karena Perang Dunia II, Jepang mampu bangkit dengan cepat karena ada mindset untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa mereka agar segera lepas dari masalah. Tak perlu menimbang-nimbang apakah kita seorang mampu merubah arah bangsa. Yang diperlukan hanyalah komitmen pribadi untuk berbuat yang terbaik dibidang masing-masing. Dan itu diawali oleh para pemimpinnya yang mampu memberikan teladan bagi rakyat  Jepang kala itu. Dan yang terbaru bagaimana masyarakat Jepang tetap dalam kondisi tenang pasca terjadi nya Tsunami, tak ditemukan kepanikan disana, yang terjadi adalah semua orang saling bahu membahu, untuk meringankan beban saudaranya, tak ada kerusuhan, atau bahkan rebutan bantuan, ternyata salah satunya adalah berkat pemimpin yang sigap dan mampu memberikan kepercayaan dan ketenangan kepada rakyat Jepang.
Inilah kemudian masalahnya, pantas saja bangsa ini kemudian mengalami keterpurukan karena orang-orang yang seharusnya menjadi panutan umat, malah bertingkah jauh dari kata teladan. Sesungguhnya masyarakat negeri ini membutuhkan “teladan” yang bisa membawa cahaya , yang bisa membawa keadilan, menghadirkan cinta ditengah kondisi bangsa yang tak menentu, “teladan” yang mampu membuat semua orang tersenyum ditengah badai krisis yang sedang menimpa bangsa ini, “teladan” yang mampu merekatkan setiap jengkal tanah yang retak di negeri ini, teladan yang mampu menjadi pemersatu di tengah perbedaan yang ada, “teladan” yang menjadi juru perdamaian, teladan yang mampu menjadi panutan bagi kaum muda, bagi rakyatnya, dan hal ini lah yang hilang dari sosok-sosok pemimpin bangsa kita, orang yang mampu memberikan teladan bagi rakyat.   
Dan inilah sesungguhnya tugas kita, kaum muda yang masih mempunyai hati nurani, yang  masih peduli terhadap nasib bangsanya, jika para pemimpinnya tidak mampu memberikan teladan, maka mulai lah dari setiap diri kita untuk melakukan hal ini, karena kita sebagai mahasiswa maka tetaplah semangat untuk melakukan segala pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan dengan harapan menghasilkan karya yang terbaik. Karya yang tentunya kita dedikasikan untuk perbaika kondisi bangsa yang kita cintai. Wallahu A’lam

Negeri Para Orang Tua...

“Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncangkan dunia”, begitulah ungkapan bapak proklamator bangsa, ketika membakar semangat kaum-kaum pejuang negeri ini 66 tahun yang lalu. semangat itu lah yang sampai saat ini merasuki setiap jiwa para pemuda di bangsa ini. namun saat ini ungkapan itu hanya sekedar ungkapan saja, bangsa ini sekarang lupa bahwa dahulu pernah mempunyai para pemuda yang mampu menaklukan hegemoni belanda, hingga akhirnya belanda pun menyerah. namun hari ini ada sesuatu yang unik terjadi di bangsa kita, jika bangsa-bangsa lain di dunia sudah mulai mempercayakan kepemimpinan ini kepada kaum-kaum muda,namun bangsa ini justru masih nyaman dengan dipimpin oleh kaum tua, yang seharusnya sudah duduk manis di kursi goyangnya. ambil contoh negara Adidaya, Amerika Serikat, yang sudah mempercayakan kepemimpinannya kepada seorang pemuda bernama Barack Obama, atau negara yang saat ini sedang di rongrong oleh Amerika dan sekutunya rakyat bangsanya mengamanahkan kepemimpinannya kepada seorang Ahamadinejad, yang dengan lantang mampu membuat takut Amerika dan sekutunya. mari kita bandingkan dengan negeri ini yang masih mempercayakan kepemimpinannya pada kaum tua.

sebenarnya ini lah salah satu masalah bangsa ini, kita sepertinya masih enggan untuk memberikan kepercayaan pada kaum muda untuk tampil mengambil alih kemudi untuk mulai memperbaiki keadaan bangsa yang hampir mengalami kebangkrutan. kaum muda masih diaangap anak kemarin sore yang tidak mengetahui apapun, padahal jika dilihat mereka mempunyai kapasitas untuk memperbaiki keadaan hari ini. contoh yang paling nyata adalah, keadaan yang teradi di hampir semua partai politik yang ada di indonesia saat ini, sekarang sudah mulai mengemuka nama-nama yang akan diusung menjadi presiden di pemilu 2014 nanti, namun ternyata nama-nama yang mengemuka saat ini tidak jauh dari tokoh-tokoh tua yang 5 tahun lalu ikut bertarung dalam bursa calon presiden. hari ini nama-nama yang mengemuka sebenarnya orang-orang usang yang harus segera pensiun dan menikmati hari tuanya. ternyata masalahnya adalah kemauan dari partai politik untuk memunculkan calon-calon alternatif untuk memegang jabatan sebagai pimpinan negara. namun saat ini seakan-akan parpol tidak masih enggan untuk melakukan itu, partai politik masih percaya pada orang-orang tua namun hanya memberikan kemasan yang berbeda. packaging yang berbeda dan marketing yang beda pula, padahal isinya masih sama saja dan itu-itu saja. ini lah celakanya, bangsa ini masih terlena dengan janji-janji manis dari para orang tua, padahal mereka sudah terbukti kemampuannya. jika pun ada kaum muda yang mempunyai kapasitas, mereka akan di hegemoni oleh para orang tua dan akhirnya diam membisu. padahal jika sedikit saja mereka diberi kesempatan, mereka akan mampu memberikan perubahan bagi bangsa ini. ini lah yang harus mulai difikirkan oleh para pembesar partai politik di negeri ini, yaitu mulai memberikan ruang untuk berkreatifitas dan berkekspresi bagi para kaum mudanya, sehingga ketika tiba waktunya untuk memimpin maka saat itu pula dia siap dan tampil kehadapan dengan membawa segudang visi untuk merubah keadaan bangsa ini.