Senin, 16 Januari 2012

Menuju kampus UPI yang “good Governance”



Tulisan ini dibuat dalam rangka menuangkan gagasan yang berserakan dalam pikiran penulis, mencoba membuatnya lebih sistematis ke dalam sebuah urutan kata menjadi sebuah kalimat hingga selanjutnya menjadi sebuah gagasan yang lengkap, meskipun diakui ini hanya gagasan dari seorang mahasiswa yang sedang belajar menuangkan gagasannya ke dalam tulisan, dengan maksud untuk berbagi pengetahuan serta mencoba melihat keadaan kampusnya yang hari ini katanya telah atau sedang menerapkan konsep “good governance”.

Konsep good governance sendiri sebetulnya sudah muncul 125 tahun lalu, yang diperkenalkan oleh Wodrow Wilson, dalam literatur administrasi dan ilmu politik. Namun konteks penggunaannya masih dalam tataran organisasi korporat dan perguruan tinggi. Sedangkan di indonesia istilah ini muncul sekitar 15 tahun yang lalu, ketika lembaga-lembaga donor internasional mulai mempersyaratkan “good governace”, dalam berbagai program bantuan yang digagasnya. . Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Namun ternyata ada perbedaan antara konsep “goverment” dan “governance”, yaitu, terletak pada penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi, dan adiministrasi dalam pengelolaan urusan sebuah bangsa. Jika konsep “government” maka pemerintah mempunyai wewenang yang dominan dalam penyelenggaraan berbagai otoritas diatas. Sedangkan “Governance” mengandung arti bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekusaan dalam mengelola segala potensi yang dimiliki oleh bangsa tersebut dan memanage bagaimana mengatasi masalah yang terjadi pada bangsa tersebut. Jika “goverment” dipandang sebagai sebuah institusi atau lembaga, maka “governance” adalah sebuah proses dalam setiap penyelenggaran otoritas, dan “governance” juga dilihat dalam sudut pandang “kita” bukan “mereka”.
Secara sederhana, good governance adalah rangkaian pembuatan kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya good governance berfokus pada aktor atau dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal. Yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah sebagian atau salah satu faktor saja, masih ada unsur lain, diluar pemerintah dan militer yang dikenal dengan civil society. Begitu pula dalam pengambilan keputusan, pemerintah dan jajarannya hanya salah satu unsur saja, masih ada unsur lain yang juga mesti didengar atau juga berpengaruh terhadap setiap kebijakan yang diambil. Good governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu :

Participation / Partisipasi
Partisipasi oleh pria dan wanita adalah kunci good governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan sebuah civil society yang kuat dan terorganisir di sisi lain.

Rule of law
Good governance memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM, terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga imparsial dan tidak korup.

Transparency/Transparansi
Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.

Responsiveness
Good governance memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.

Consensus oriented
Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat tersebut.

Equity and inclusiveness
Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.

Effectiveness and efficiency
Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan perlindungan lingkungan.

Accountability
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya transparansi dan supremasi hukum.

Good University Governance
Pada dasarnya pendidikan tinggi memiliki perbedaan dengan dunia korporasi atau negara sekalipun. Dunia kampus masih memiliki independensi dan terlepas dari berbagai kepentingan, meskipun hari ini  disinyalir dunia kampus pun sudah tidak lagi bersih dari kepentingan-kepentingan politik. Institusi pendidikan dijalankan sebetulnya untuk memebentuk sebuah komunitas intelektual. Komunitas ini selanjutnya diharapkan mampu menjadi sebuah komunitas yang mampu memberikan inovasi-inovasi dan pemikiran serta solusi dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi oleh kampus sendiri, masyarakat sekitar serta bangsa. Komunitas pendidikan ini pula dijadikan sebagai garda dalam menjadi nilai-nilai luhur sebuah bangsa termasuk adat istiadat dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan peranannya ini, komunitas pendidikan ini begitu mendapat posisi yang terhormat ditengah masyarakat. Dan menjadi harapan dalam mengakhiri segala krisis yang terjadi di bangsa ini.
Secara hakikatnya institusi pendidikan mempunyai peranan dalam transfer ilmu pengetahuan dan diharapkan menjadi komunitas yang memegang tegus nilai-nilai ideal yang harus dijunjung tinggi dan di jaga oleh suatu bangsa. Ia juga diharapkan mempunyai imunitas yang tinggi dalam melindungi diri dari berbagai kepentingan, atau nilia-nilai korup yang dikhawatirkan merusak tatanan komunitas tersebut. Selain itu indepedensi juga mendukung terwujudnya inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun nyatanya, apa yang diharapkan pada perguruan tinggi hari ini seakan tidak terjadi, institusi pendidikan tinggi, seakan seperti menara gading yang ekslusif dan terpisah dari masyarakat dan tidak peduli pada permasalahan yang menimpa bangsanya. Melihat kondisi hari ini, ternyata peranan institusi pendidikan tinggi begitu besar dan luas, pendidikan tinggi pun seyogyanya mampu menyeimbangkan perannya sebagai pusat intelektual tapi harus juga relevan dengan kondisi sosial disekitarnya atau bangsa. Maka untuk menghindari kepentingan-kepentingan yang dapat merusak peran perguran tinggii, maka konsep good governance dirasa penting diterapkan dalam setting pendidikan tinggi di indonesia.
Dalam impelentasinya sebuah institusi pendidikan tinggi harus memenuhi 8 prinsip good governance, karena nilai-nilai dasar good governance juga masih relevan untuk diimplementasikan di pendidikan tinggi, hanya saja berbeda pada nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip good governance hendaknya mendukung fungsi dan tujuan dasar pendidikan tinggi.
Sebenarnya konsep good governance untuk wilayah asia tenggara, khususnya indonesia masih mencari bentuk yang pas dan sesuai dengan keadaan pendidikan tinggi di negara ini. Ada dua konsep good governance sebenarnya, yaitu yang biasa diterapkan di Amerika serikat dan Eropa. Jika di Amerika serikat good governance diartikan sebagai otonomi seluas-luasnya dari berbagai kebijakan, baik yang menyangkut akademik maupun aspek manajerial, operasional dan pembiayaan. Namun jika di eropa pendidikan tinggi mempunyai otonomi luas dalam hal akademis namun masih bergantung pada pemerintah untuk pembiayaan.

Good Governance dalam Konteks ke-UPI-an.
Wacana good university governance sepertinya telah menjadi sebuah wacana umum yang cukup menarik untuk diadopsi dalam pencarian bentuk governance yang baik untuk PTN-PTN tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan good university governance ini, terutama dalam hal penerapan prinsip-prinsip atau karakteristik dasarnya.

Penentuan stakeholders. Inti dari proses governance yang baik adalah bagaimana hubungan antar stakeholdersdidalamnya. Untuk itu, maka kita terlebih dahulu perlu mendefinisikan siapa para stakeholders tersebut. Stakeholderpertama adalah warga kampus, yaitu manajer eksekutif, mahasiswa, dosen, karyawan, dsb. Yang kedua adalah pihak-pihak diluar PTN yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keberadaan PTN. Kelompok stakeholderskedua ini berarti termasuk negara sebagai institusi yang menaungi PTN, masyarakat umum, calon mahasiswa baru, sektor swasta dan sebagainya. Masyarakat secara umum merupakan entitas yang mendasari munculnya pendidikan tinggi, dan pada dasarnya pendidikan tinggi dibangun untuk mengabdi pada masyarakat, tidak hanya untuk membekali individu-individu dalam memperoleh pekerjaan yang layak baginya. Penyelenggara PTN pada hakikatnya harus mampu memberikan pertanggungjawaban pada seluruh stakeholders ini.

Pendefinisian peranan dan tanggung jawab masing-masing stakeholders. Hal ini harus didahului dengan pembangunan kesadaran dalam diri seluruh stakeholders bahwa mereka memiliki kepentingan dan karenanya harus turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan PTN. Dalam konsep BHMN, lembaga yang mungkin dapat disebut sebagai Dewan PTN atau representasi dari seluruh stakeholders adalah MWA (Majelis Wali Amanat) masing-masing PTN. MWA inilah yang kemudian harus berperan sebagai pihak yang mampu mengelola dan mengarahkan perubahan-perubahan atau pembangunan di PTN-nya.

Partisipasi. Partisipasi atau pelibatan aktif dari seluruh stakeholders merupakan sesuatu yang vital dalam penyelenggaraan governance yang baik. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila dari pihak stakeholders sendiri memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dan ada kesempatan atau fasilitas yang terbuka seluas mungkin untuk itu. Kesempatan dan fasilitas ini harus disediakan oleh pihak penyelenggara perguruan tinggi (Dalam hal ini MWA dan manajer eksekutif atau jajaran rektorat). Partisipasi atau pelibatan ini harus terbuka dalam setiap langkah dalam proses pembangunan atau penyelenggaraan perguruan tinggi. Artinya, usaha pelibatan harus mulai dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selama ini, dalam praktiknya, usaha pelibatan atau kesempatan partisipasi hanya diberikan pada tahap implementasi sebuah program, sementara belum tentu seluruh stakeholdersmenyetujui program tersebut. Yang lebih parah lagi, “kesempatan” itu seringkali lebih bersifat sosialisasi program dari rektorat pada stakeholders. Seluruh stakeholders sudah harus mulai diberi kesempatan berpartisipasi sejak awal perencanaan program-program dan sasaran kedepan. Hal ini penting untuk menjaga komitmen seluruh stakeholdersdan menjadi basis legitimasi program-program pembangunan.

Penegakkan hukum. Pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi tidak mungkin dapat berjalan dengan kondusif apabila tidak ada sebuah hukum atau peraturan yang ditegakkan dalam penyelenggaraannya. Aturan-aturan itu, berikut sanksi-sanksinya, hendaknya merupakan hasil konsensus dari stakeholders, untuk meningkatkan komitmen dari semua pihak untuk mematuhinya. Aturan-aturan itu dapat disusun dalam bidang akademik maupun non-akademik. Yang perlu diperhatikan adalah aturan yang dibuat tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasanstakeholders untuk berekspresi, melainkan untuk menjaga keberlangsungan pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi dengan seoptimal mungkin.

Transparansi. Transparansi atau keterbukaan merupakan sebuah prasyarat dasar untuk menunjang adanya partisipasi dan menjaga akuntabilitas institusi. Proses partisipasi memerlukan ketersediaan informasi yang memadai dan kemudahan bagi seluruh stakeholders dalam mengakses informasi tersebut. Selain itu, transparansi memungkinkan seluruh stakeholders untuk dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja institusi. Dalam hal anggaran atau keuangan, transparansi ini menjadi sangat urgen terutama dalam era BHMN, mengingat arus perputaran uang dalam institusi perguruan tinggi menjadi lebih besar dan kompleks. Akan tetapi, transparasi ini hendaknya tidak hanya dalam hal anggaran, melainkan seluruh dinamika yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan perguruan tinggi.

Responsivitas. Sifat responsif ini dapat kita bagi dalam dua konteks. Pertama, pihak penyelenggara PTN (MWA dan rektorat) harus mampu menangkap isu-isu dan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan PTN tersebut. Mereka harus mampu merespon harapan-harapan stakeholders dan menyikapi permasalahan yang terjadi. Yang kedua, dalam konteks yang lebih luas, PTN secara institusi harus mampu bersikap responsif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan mempu bertindak atau berpartisipasi untuk menyikapinya. Pada dasarnya, pendidikan tinggi harus mampu responsif untuk menyikapi permasalahan-permasalah di bangsa yang menaunginya dan selalu berusaha untuk memenuhi harapan-harapan dan amanat yang diembannya dari masyarakat.

Orientasi pada konsensus. Proses pengambilan segala keputusan atau kebijakan dalam penyelenggaraan PTN hendaknya mengutamakan konsensus atau kesepakatan dari stakeholders.

Persamaan derajat dan inklusivitas. Seluruh prinsip-prinsip tadi hanya mungkin terwujud apabila ada satu kesepahaman mengenai persamaan derajat (equity) setiap entitas stakeholders. Artinya, paradigma yang dipakai bukanlah hierarkikal atau ada satu kelompok yang derajatnya lebih tinggi dibanding kelompok lain. Sebaliknya, paradigma yang dipakai adalah persamaan derajat dan adanya pemahaman bersama bahwa perbedaan antarstakeholders sebenarnya terletak pada peranan, tanggung jawab, dan amanat yang diemban. Dengan begitu akan tercipta rasa saling menghargai dan menghormati antar stakeholders, mengingat penyelenggaraan PTN tidak akan berjalan dengan baik apabila salah satu dari peran masing-masing stakeholders tidak berfungsi. Selain itu, perlu dihilangkan kesan eksklusif, terutama dari MWA dan rektorat sebagai pihak yang diserahi amanat dan kewenangan untuk memimpin dan me-manage penyelenggaraan PTN, agar tercipta rasa kepemilikan dan komitmen yang besar dari semua stakeholders dan menciptakan pola hubungan yang baik antar stakeholders.

Efektifitas dan efisiensi. Output dari seluruh proses penyelenggaraan atau program-program yang digariskan harus tepat sasaran (efektif) atau sesuai dengan kebutuhan dan harapan stakeholders. Yang terutama adalah efektif dalam menunjang fungsi-fungsi pendidikan, khususnya dalam hal peningkatan mutu akademik dan riset. Selain itu, penyelenggaraan PTN juga harus efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya.
Akuntabilitas. Institusi PTN harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh rangkaian proses penyelenggaraan PTN terhadap seluruh stakeholders, baik internal maupun eksternal, terutama pada masyarakat umum. Pertanggungjawaban ini dapat dilakukan secara rutin dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, dalam hal anggaran setiap tahun perlu dilakukan proses audit, baik audit internal maupun audit eksternal yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil audit maupun laporan pertanggungjawaban lain harus dengan mudah dapat diakses oleh seluruhstakeholders. Selain itu, untuk mendukung akuntabilitas ini, prinsip transparansi juga harus diterapkan dengan benar.

Values yang harus dijunjung tinggi PTN. Seluruh prinsip ini harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan tujuan dasar yang dianut dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan diterapkan untuk menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi dasar perguruan tinggi. Perguruan tinggi mengemban amanat dan harapan yang besar dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga penyimpangan dari nilai-nilai ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanat dan harapan itu.

Contoh yang paling kentara di kampus ini adalah masalah pembiayaan. Biaya penyelenggraan pendidikan di kampus ini sebagian besar bergantung pada pemerintah. Namun sekarang sudah beralih untuk bisa mandiri. Sebenarnya jumlah subsidi tidak berkurang, namun kebutuhan biaya pendidikan semakin tinggi yang menyebabkan kampus harus memutar otak untuk mencari pendanaan diluar subsidi pemerintah. Nah, jika kampus ini hendak menerapkan konsep tersebut, maka langkah pertama yang harus di lakukan adalah pihak penyelenggara dalam hal ini rektoran, MWA atau untuk BLU adalah majelis pemangku mendefinisikan atau menentukan stakeholder atau pihak yang berkepentingan dengan pembiayaan kampus. Mengingat MWA adalah representasi dari stakeholder maka MWA diharuskan untuk turun ke basis masa, untuk mendapatkan masukan atau aspirasi. Setelah itu baru stakeholder yang lebih luas yang dimintai pendapat terhadap permasalahan ini. Stakeholder ini diajak untuk memikirkan mulai dari tahap identifikasi, perencanaan, implementasi dan evaluasi progam yang berjalan, meskipun segala kewenangan akhirny ada di MWA dan rektorat, namun karena prinsip adanya persamaan derajat serta inklusifitas, maka pengambil kebijakan mempunyai keharusan pula untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Setelah itu menentukan jalan keluar yang memang tidak menyimpang dari peran dan fungsi institusi pendidikan tinggi.

*) Disarikan dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar