Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Januari 2012

Merenungi Perubahan


Entah mengapa saya sedang ingin menulis tentang perubahan. Mungkin  karena saya sedang senang bereksperimen, learning by doing dalam pendidikan anak-anak saya. Mungkin juga karena  diam-diam saya senang mengamati orang-orang di sekeliling saya yang berubah dari tahun ke tahun, menjadi lebih arif, lebih sabar, lebih baik dari saat pertama kali saya bertemu dengannya. Dari sini saya mencoba menggali, apa sebenarnya rahasia dari perubahan.

Pertama, ilmu dan pemahaman yang terus bertambah. Ilmu yang datang dari ketelatenan dan keseriusan dalam mengkaji nilai-nilai Islam. Di antara berbagai kesibukan yang dijalani, sekolah, bekerja, aktivitas organisasi dan lain sebagainya, agenda ta'lim tetap terselip dan tak pernah terlewat untuk diikuti.

Meskipun hanya mengkaji diantara teman-teman-teman yang ilmunya mungkin tidak berbeda jauh, tetapi selalu ada saja ilmu baru yang bisa diambil di sela-sela merenungi mata air ilmu Al-qur'an dan hadist ini. Tentu saja sesekali perlu bantuan dari ustadz yang memiliki kapasitas pemahaman Islam yang lebih mendalam, dan itu sangat langka ditemui di bumi sakura ini.

Kedua, berinteraksi dengan masyarakat. Ilmu dan pemahaman keislaman yang didapat, tidak akan mungkin bisa terasa pengaruhnya tanpa bergaul intens dengan masyarakat. Bergaul, berinteraksi, take and give saling memberi manfaat dari interaksi itu, membuat apa yang didapat di majlis-majlis ilmu menemukan ruang aplikasinya.

Sejauh mana ilmu itu sudah meresap di dalam diri? sejauh mana nilai-nilai persaudaraan, saling menghargai perbedaan, menjaga akhlak yang tadinya berada dalam tataran teori, bisa keluar, terlatih dan menjadi akhlak yang menyatu dalam keseharian?

Di awal mungkin gagal, berjarak dan terasa canggung bergaul. Namun lama kelamaan menjadi luwes, dan akhirnya terasa nyaman membawa diri tanpa harus melepas jati diri.

Dari masyarakat juga ilmu-ilmu kehidupan bisa di dapat. Saling berbagi pengalaman, saling bercerita tentang tips-tips mengatasi kesulitan, membuka diri menyerap ilmu-ilmu itu membuat seseorang menjadi lebih "kaya" dan lebih bijak.

Ketiga, adakalanya perubahan itu harus diawali dengan berpindah dari lingkungan lama ke lingkungan baru. Ketika lingkungan lama tidak terlalu mendukung perubahan kita untuk menjadi lebih baik, maka perlu berpindah dulu, mencari teman-teman yang baik, mencari komunitas yang baik.

Orang-orang baik akan mendukung perubahan seseorang menjadi lebih baik. Kalau sulit menemukan komunitas seperti itu, minimal bersama-sama dengan orang yang juga sedang belajar menjadi lebih baik.

Merantau, tinggal sendiri di tempat yang jauh, sering menjadi ujung tombak perubahan menjadi lebih baik. Karena merantau membuat orang lebih paham kerasnya kehidupan. Untuk bisa survive, perlu kesabaran menjalani perbedaan bahasa, tingkah laku dan adat yang berbeda di tempat yang baru.

Keempat, Seringkali perubahan seseorang berawal dari takdir yang tidak menyenangkan. Bangkrut, gagal mencapai suatu tujuan, gagal dalam pertemanan, dan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya mendorong seseorang mencari solusi keluar dari masalah yang dihadapinya.

Solusi yang yang sering dipakai adalah mengubah sikap, tingkah laku dan kebiasaan, dari negatif menjadi positif. Sifat malas belajar, diubah menjadi rajin dan tekun. Sifat meledak-ledak, pemarah dan sangat sensitif diubah menjadi lebih sabar dan positive thinking.
Kelima, perubahan status bisa juga menjadi pencetus perubahan seseorang. Dari sendiri, menikah dan punya anak, di setiap fase butuh keterampilan tersendiri agar bisa smooth dalam menjalaninya.

Keterampilan komunikasi dan berusaha membentuk tim kehidupan, tak bisa dilakukan kalau tidak memangkas sifat-sifat egois yang masih dimiliki. Bagaimana menjaga hubungan dengan pasangan, dengan keluarga sendiri dan keluarga pasangan, serta dengan anak-anak, perlu kemampuan komunikasi yang diperbaiki terus menerus. Mau tidak mau setiap orang harus berubah ketika perubahan status terjadi.

Itulah beberapa hal yang menunjang perubahan karakter seseorang. Bukan sesuatu yang mudah, dan tidak pula bisa terjadi dalam waktu singkat. Tapi bila ada semangat untuk selalu berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, disertai do'a kepada Allah agar melimpahi kebaikan dalam hidup ini, insya Allah, jalan-jalan perubahan itu selalu terbentang dihadapan kita. 

Yuk, Berubah..


Minggu, 27 November 2011

Mendaki Sejarah

Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai sebagai pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya punya energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.

Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita memperoleh nafas untuk terus mendaki.

Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberi kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusi energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia. Dengan begitu kita bisa mengukur posisi ketinggian maksimum yang mungkin kita capai pada pandakian yang kita lakukan.

Rute yang jelas dan akurat membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau perasaan terarah, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemanta¬pan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu kemana kita melangkah, berapa jauh jarak yang masih harus kita tem¬puh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Tapi ketika kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah kita lalui. IIham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cerah dalam realitas kekinian.

Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan jarak dan waktu. Dalam kesadaran itu fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efesien, efektif dan maksimal. “Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar”, kata Muhammad Iqbal.

Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Mekkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah saw, generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani hidup dengan penuh kekhusyukan:

"Belumkah datang saatnya bagi orang-orang beriman untuk meng¬khusyukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (AI Qur'an)".

Oleh : Ust. Anis Matta

KIAT MENJAGA LISAN


Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan luput dari pendengaran  Allah.  Tiada satu patah katapun yang diucapkan kecuali pasti memakan  waktu.  Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan kecuali dengan  sangat pasti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.  Maka,  sebaik-baik dan seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang  sangat mampu memperhitungkan dan memperhatikan setiap kata yang  diucapkannya.  Sungguh, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan  setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah sangat beruntungnya orang  yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan menggantinya dengan  berdzikir kepada Allah.
Berkata sia-sia membuang waktu sedangkan berpikir membuka pintu hikmah.   Maka, alangkah beruntungnya orang yang kuasa menahan lisannya dan menggantinya dengan berdzikir.  Berkata sia-sia mengundang bala, berdzikir kepada Allah mengundang rakhmat.  Rasulullah SAW bersabda, "Setiap ucapan Bani Adam itu membahayakan dirinya (tidak memberi manfaat), kecuali kata-kata berupa amar ma'ruf dan nahi munkar serta berdzikir kepada Allah azza wa Jalla (HR. Turmudzi).
Setiap manusia diberi modal oleh Allah dalam mengarungi kehidupan ini.  Modalnya adalah waktu, dan seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang memanfaatkan waktunya untuk keuntungan dunia dan akhiratnya, sedangkan sebodoh-bodohnya manusia adalah orang yang menghambur-hamburkan modalnya (waktu) tanpa guna.
Setiap kali kita berbicara pasti menggunakan modal kita, yaitu waktu.  Maka, sebenarnya kemuliaan dan kehormatan itu dapat dilihat dari apa yang diucapkannya.  Allah SWT berfirman :"Amat sangat beruntung, bahagia, sukses, orang yang khusu' dalam sholatnya, dan orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh menahan diri dari perbuatan dan perkataan sia-sia." (QS Al Mu'minun 23: 1- 3), subhanallah.
Sahabat-sahabat sekalian, salah satu ciri martabat keislaman seseorang itu bisa dilihat dari bagaimana ia berjuang keras untuk menhindarkan dirinya dari kesia-siaan.  Maka semakin kita larut dalam kesia-siaan maka, akan semakin tampak keburukan martabat keislaman kita dan semakin akrab dengan bala bencana, yang selanjutnya hati pun akan keras membatu dan akan lalai dari kebenaran.  Rasulullah sendiri dengan tegas melarang kita banyak bicara yang sia-sia."Janganlah kamu sekalian memperbanyak bicara selain berdzikir kepada Allah, sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hari, dan sejauh-jauh manusia adalah yang hatinya keras." (HR. Turmudji)
Kita lihat banyak orang berbicara tapi ternyata tidak mulia dengan  kata-katanya.  Banyak orang berkata tanpa bisa menjaga diri, padahal kata-kata yang terucapkan harus selalu dipertanggung-jawabkan, yang siapa tahu akan menyeretnya ke dalam kesulitan.  Sebelum berkata, kita yang menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan kitalah yang ditawan kata-kata kita.  Rasulullah bersabda " Barangsiapa memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya.  Maka barangsiapa jatuh dirinya, maka akan banyak dosanya.  Barangsiapa banyak dosanya, maka nerakalah tempatnya". (HR. Abu Hatim).
Dari Sahl bin Sa'ad as Saidi, dia berkata:"Barang siapa menjamin bagiku apa yang ada diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang ada diantara kedua kakinya (kemaluan), niscaya akan aku jamin surga baginya."(HR. Bukhari).
Dalam hadits lain Rasulullah bersabada; "Barangsiap menjaga dari kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya, dan laglagnya, niscaya ia akan terjaga dari kejahatan seluruhnya."(HR. Ad Dailami)
Yang dimaksud qabqab adalah perut, Dzaabdzab adalah kemaluan, dan Laqlaq adalah lidah.
Maka tampaknya adalah menjadi wajib bagi siapapun yang ingin membersihkan hatinya, mengangkat derajatnya dalam pandangan Allah Ajjaa Wa Jallaa, ingin hidup lebih ringan terhindar dari bala bencana, untuk bersungguh-sungguh menjaga lisannya.  Aktivitas berbicara bukanlah perkara panjang atau pendeknya, tapi berbicara adalah perkara yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Ada sebuah kisah, suatu waktu ada seseorang bertanya tentang suatu tempat yang ternyata tempat tersebut adalah tempat mangkal "wanita tuna susila"."Dimana sih tempat x ?" Lalu si orang yang ditanya menunjuk ke arah
suatu tempat dan hanya dengan "Tuh !", lalu si penanya datang ke sana dan naudzubillah dia berbuat maksiat, di pulang, lalu dia sebarkan lagi kepada teman-temannya, lalu berbondong-bondong orang ke sana, berganti hari, minggu, dan tahun.  Maka setiap ada orang yang bermaksiat di sana, orang yang menunjukkan itu memikul dosanya, padahal dia hanya berkata : "Tuh !", cuman tiga huruf.  Setiap hari orang berzina di sana, maka pikul tuh dosanya, karena dia telah memberi jalan bagi orang lain untuk bermaksiat dengan menunjukkan tempatnya. Jadi waspada, dengan lidah, menggerakkannya memang mudah, tidap perlu pakai tenaga besar, tidak perlu pakai biaya mahal, tapi bencana bisa datang kepada kita.  Berbicara itu baik, tapi diam jauh lebih bermutu.  Dan ada yang lebih hebat dari diam, yaitu BERKATA BENAR.  "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam !" (HR. Bukhari Muslim).
Sebab lisanlah yang banyak memasukkan kita ke neraka. Rasulullah
bersabda :"Kebanyakan yang memasukkan ke neraka adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji (kemaluan)" (HR> Turmudji dan Imam Ahmad). Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak akan berarti agama seseorang bagi orang yang tidak menjaga lisannya". Beliau melanjutkan, bahwa :"Baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya".
Sumber : NN






Rabu, 16 November 2011

Ukurlah Dengan Iman


“Apa yang dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku ada dalam jiwaku, Jika mereka memenjarakanku maka itu adalah masa penyepianku dengan Tuhanku. Jika mereka mengasingkanku ke suatu tempat yang jauh maka itu adalah masa pengembaraan bagiku. Jika mereka membunuhku, itu adalah kematian yang semoga menjadikanku sebagai syahid. ” (Ibnu Taimiyah)
Bagaimana seseorang mengarungi hidup jika tanpa iman? Kesibukan, bagi orang yang tak memiliki iman, adaIah menapaki keinginan yang tak pernah selesai. Menjalani waktu, sejak pagi, siang, petang, malam hingga bertemu pagi kembali, bagi orang yang tak memiliki iman, adalah ibarat mengarungi belantara hutan yang tak pernah ada ujungnya, atau menyeberangi lautan luas yang tak pernah bertepi. Mereka terus bergelut dengan ambisi, memenuhi keinginan nafsu, sementara itu semua tidak pernah membuat lapar dan dahaganya berkurang.
Wajar, jika tak sedikit orang yang merasa lelah menjalani hidup. Ya, mereka lelah karena ternyata seluruh keringat, pikiran dan usahanya tak pernah membuatnya merasa cukup. Semakin banyak usaha yang diperoleh, semakin tinggi tuntutan untuk memperoleh yang lebih banyak. Peluh yang menetes temyata hanya memberi kepuasan yang makin membakar nafsu untuk mendapatkan yang lebih besar. Lalu setelah itu, jatuh bangun lagi, bertarung demi ambisi lagi, mengejar dan memenuhi nafsu lagi, untuk keinginan yang tak ada habisnya.

Saudaraku, Semoga kita semakin memahami, bahwa ada banyak keinginan yang temyata tidak baik untuk kita sendiri. Perhatikanlah bagaimana ungkapan seorang sahabat mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang sangat terobsesi mencapai sesuatu, baik masalah bisnis maupun kekuasaan. Dan sebenarnya ia dimudahkan untuk mencapai keinginannya itu. Tapi Allah melihatnya, lalu berkata pada para Malaikat-Nya, ‘Hindari dia dari apa yang diinginkannya itu. Karena sesungguhnya jika Aku mudahkan dia memperoleh keinginannya, mala ia akan masuk neraka.’ Maka orang itu pun dihindari oleh Allah dari apa yang diinginkannya. Selanjutnya, orang tersebut menduga-duga dengan mengatakan, ‘Kenapa fulan lebih berhasil dariku, kenapa fulan lebih unggul dariku. Padahal apa yang terjadi itu tidak lain hanya karunia Allah swt belaka.” (Nurul Iqtibas, 49)
Imanlah yang menyelamatkan kita dari dinarnika hidup yang melelahkan itu. Imanlah yang selalu memberikan kesegaran baru. Iman yang memberi pencerahan batin yang membuat kita selalu prima menghadapi badai apapun dalam hidup. Andai seorang hamba selalu mengembalikan segala masalah pada hakikat keimanan, niscaya ia yakin bahwa Allah tidak pemah menetapkan sesuatu kecuali kebaikan. Meskipun kebaikan itu tidak ia sadari.
Saudaraku, Pikiran kita seringkali tak mampu membaca langsung kebaikan-kebaikan Allah. Mungkin karena hati kita yang kerap tidak bersinar. Pergulatan hidup, sentuhan urusan dunia menyebabkan hati seseorang terselubung oleh suasana pekat. Itulah yang pernah digambarkan oleh Rasulullah saw pada kita, “Tidaklah hati seseorang itu kecuali ia mengalarni kondisi seperti awan dan bulan. Jika hati terdominasi oleh awan, maka hati akan menjadi gelap. Tapi bila awan itu menyingkir maka hati akan menjadi terang.” (HR. Thabrani dalam hadits shahih).
Begitulah, hati yang terkadang tertutup oleh awan, akan terhijab cahayanya lalu menjadi temaram. Jika kita berupaya menambah keimanan dalam hati dengan memperbanyak amal shalih dan meminta pertolongan Allah untuk menyingkapkan awan itu, maka hati kita akan bercahaya lagi.
Karenanya saudaraku, Sadarilah kapan saat-saat awan kelabu itu mulai menyelimuti hati. Waspadailah ketika hati mulai terasa redup dan tak tersinari oleh cahaya. Seperti yang disebutkan dalam perkataan salafushalih, “Termasuk kecerdasan seorang hamba adalah, jika ia menyadari kondisi imannya dan apa-apa yang kurang darinya.”
Ada pula para salafushalih yang mengatakan bahwa termasuk kecerdasan seorang hamba adalah, “Jika ia mengetahui dari mana datangnya bisikan-bisikan syaitan pada hatinya.”
Kembalilah pada iman, maka semua keinginan kita akan terwujud. Keinginan yang tidak dibatasi oleh target, angka atau hasil yang bisa diraba. Karena keinginan tak pemah selesai oleh target, angka dan hasil-hasil itu. Tapi keimanan akan memberi semua harapan, melalui ketenangan, ketentraman hati dan kepuasan. ltulah yang kita cari.
Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “Wahai orang yang ditolak dari pintu. Wahai orang yang terhalangi menemui kekasihnya. Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi raja. Lihatlah sarana apa yang bisa membantumu untuk mengetahui posisimu di sisi sang raja. Lihatlah pekerjaan apa yang menyibukkanmu. Betapa banyak orang yang berdiri di depan pintu istana raja. Tapi tak satupun yang dapat masuk dan berhadapan dengan raja kecuali orang-orang yang memang telah dipilih oleh sang raja. Tak seluruh hati bisa mendekat. Tak semua jiwa menyimpan rasa cinta.”
Seorang ulama menjelaskan makna perkataan Ibnul Jauzi ini. Ia mengatakan bahwa jika seseorang ingin tahu di mana posisinya di hadapan Allah, bercerminlah pada amal-amal yang menyibukkannya. “Jika ia sibuk dengan dakwah dan berbagai masalahnya, jika ia sibuk menyelamatkan umat manusia dari neraka, jika ia sibuk melakukan pekerjaan untuk memperoleh kemenangan di surga, menolong yang lemah dan orang yang membutuhkan, maka bergembiralah karena semoga ia mempunyai kedudukan yang dekat dengan Allah. Beritakanlah kabar gembira bahwa Allah tidak akan memberikan kebaikan kecuali pada orang yang Ia cintai. Tapi jika ia dia berpaling dari dakwah, berpaling dari para juru dakwah, berpaling dari melakukan kebaikan, sibuk dengan dunia dan mengumpulkan harta benda, sibuk dengan banyak bertanya tapi sedikit beramal, sibuk dengan mengikuti hawa dan nafsu, ketahuilah bahwa ia jauh dari Allah.”
Saudaraku, Lihatlah apa sarana yang bisa mendekatkan kita pada Allah? Dan apa pekerjaan yang menyibukkan kita? Allah akan memilih orang-orang yang bisa menempuh sarana yang mendekatkan diri kita pada-Nya dan menyibukkan diri untuk menjalani perintah-Nya. Mari mengukur segala keadaan dengan iman.
Mari kembalikan semua keinginan pada keimanan. Mari melihat peristiwa hidup apa saja dengan kaca mata iman, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apa yang dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku ada dalam jiwaku, Jika mereka memenjarakanku maka itu adalah masa penyepianku dengan Tuhanku. Jika mereka mengasingkanku ke suatu tempat yang jauh maka itu adalah masa pengembaraan bagiku. Jika mereka membunuhku, itu adalah kematian yang semoga menjadikanku sebagai syahid.”

Saudaraku,
Adakah kekecewaan, kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan di sana?
~ Berjuang di dunia berharap Pertemuan di Surga ~ *** Tarbawi ***
Ust. Muhammad Nursani

Mengelola Diri Dalam Sebuah Perbedaan


aTANAH GERSANG
Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin di kehidupan,setiap orang adalah guru bagi kita
Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat.
betapapun yang mereka berikan pada kita selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya, mereka tetaplah guru-guru bagi kita. bukan karena mereka orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana.
mereka mungkin tanah gersang. Dan kitalah murid yang belajar untuk menjadi bijaksana. kita belajar untuk menjadi embun pada paginya, awan teduh bagi siangnya, dan rembulan yang menghias malamnya.
Tetapi, barangkali, kita justru adalah tanah yang paling gersang. Lebih gersang dari sawah yang kerontang. Lebih cengkar dari lahan kering dikemarau yang panjang. Lebih tandus dari padang rumput yang terbakar dan hangus. Maka bagi kita sang tanah gersang, selalu ada kesempatan menjadi murid yang bijaksana.
seperti matahari yang tak hendak dekat-dekat bumi karena khawatir nyalanya bisa memusnahkan kehidupan. Seperti gunung api yang lahar panasnya kelak menjelma subur, sejuk menghijau berwujud hutan.
            dan seperti batu cadas yang member kesempatan lumut untuk tumbuh di permukaannya. dia izinkan sang lumut menghancurkan tubunya,melembutkan kekerasannya. Demi terciptanya butir-butir tanah. Demi tersedianya unsur  hara agar pepohonan berbuah.
(Salim. A. Fillah).
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah (organisasi). Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan. begitulah kira-kira kata-kata penutup dalam sebuah artikel, karya seorang tokoh yang kemudian menjadi idola, sebagian besar aktivis mahasiswa. Dan ternyata, memang benar adanya, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang akan hadir dalam setiap fase kehidupan kita.
Ya, dan perbedaan merupakan sebuah dinamika yang wajar dan normal dalam sebuah kehidupan berorganisasi. Ia akan selalu mengiringi setiap fase perjalanan sebuah organisasi. Dan hari ini, kita hadir dan dipersatukan disini, bukan tanpa perbedaan, justru kita hari ini datang dengan berbagai macam perbedaan, latar belakang yang beda, pola kehidupan dan cara bekerja, hingga ternyata pola pemikiran kita pun ternyata memiliki bermacam sudut pandang yang beda pula. Namun sekali lagi, itu merupakan hal yang lumrah dalam sebuah organisasi, karena celah-celah perbedaan akan selalu saja muncul.
Dan ternyata, saat ia muncul, janganlah kita menghindarinya, namun syukuri lah kehadirannya, karena saat itu kita sedang belajar untuk mempraktekan teori mengenai keikhlasan. Terutama bagi ia yang memiliki pendapat yang ternyata bukan pendapat yang disetujui oleh suara mayoritas. Tentunya, sebuah pekerjaan yang melelahkan, sebuah beban yang teramat berat bagi siapapun ketika ia harus manut terhadap keputusan yang ternyata tidak ia sepakati, namun ternyata inilah keunikannya, bagi ia yang mampu mengelola ketidak setujuannya, bagi ia yang mampu memanej perbedaan, ini akan menjadi ladang pahala yang besar bagi dirinya, terlebih ketika ia mampu bertahan, tanpa memunculkan riak perbedaan itu maka ia akan menjadi orang yang paling dewasa dan luar biasa karena ia mampu untuk terus berjuang meskipun ada hal yang ia tidak sepakati.
Mari kita mencoba mengkaji diri kita masing-masing, marilah kita bertanya kembali pada hati terkecil kita, apakah yang kita perjuangkan itu hanya reaksi sesaat yang tidak memikirkan dampak kedepannya, apakah yang kita suarakan itu adalah hanya dugaan perasaan ataukah sudah melalui proses yang ilmiah. Seandainya ia hanya lintasan pemikiran subjektif, maka segera hindari, tak perlu kita ngotot untuk mempertahankannya karena justru ia akan menjadi musuh bagi diri dan organisasinya. Tapi ternyata jika ia telah melewati proses yang sistematis dan ilmiah maka saat itu kita sedang belajar untuk menjadi hamba yang tawadhu, Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."
Dan ketika pun, ternyata kita yakin pendapat kita adalah yang paling benar, dibanding keputusan dari hasil kesepakatan bersama, hendaklah kita tetap terlebih dahulu menjaga keutuhan organisasi dahulu, simpanlah sejenak, jangan tergesa-gesa, biarlah ia muncul disaat dan waktu yang tepat. Dan ternyata, pertolongan Allah pun memang akan datang kepada jama’ah yang bersatu padu. Jika seandainya organisasi ini salah dalam mengambil keputusan itu jauh lebih baik dari pada kita harus mengorbankan kesatuan organisasi. Cobalah kita renungi apa yang dikatakan sahabat Rasulullah, Ali Bin Abi Thalib r.a : “Bagaimanapun, kekeruhan jama’ah, kata beliau., jauh lebih baik daripada kejernihan individu”.  Dan ketika hal itu ternyata sebuah kekeliruan, maka kedepannya akan tercipta kesadaran koletif yang baru yang mungkin tidak akan tercapai tanpa kita berbuat salah terlebih dahulu. Namun bukan berarti kita harus berbuat salah terlebih dahulu, untuk sebuah organisasi justru kita harus mengusahakan yang terbaik, keputusan yang paling tepat, namun ada kalanya kita akan mengalami atau melakukan kesalahan dan disinilah dituntut kedewasaan dari setiap individu yang ada dalam menyikapi sebuah perbedaan. Karena harus kita yakini akan ada hikmah yang datang dari setiap keputusan yang kita sepakati bersama, apapun itu dan seperti apapun hasilnya kelak. Karena ketika kita memikirkan yang terbaik untuk organisasi, maka yakini hal yang sama pun sedang dipikirkan oleh saudara-saudara kita yang lain, hanya saja mungkin ketika itu terjadi perbedaan dalam metode atau sikap kita, namun esensinya kita masih sama, yaitu menginginkan sesuatu yang terbaik bagi organisas dan masyarakat /umat yang akan kita layani.
Dan yang paling luar biasa, dalam ketidak setujuan, sejatinya kita sedang belajar mengenai hakikat kehidupan, karena menurut Anis Matta “ dalam ketidak setujuan kita belajar tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah(organisasi), tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna kepercayaan kepada jamaah (organisasi).
Terakhir, tak perlu berkecil hati ketika pendapat kita tidak didengar, atau bahkan kecewa hingga keluar dari barisan perjuangan, tak perlu juga menjadi orang yang tinggi hati ketika ternyata pendapat kita adalah pendapat yang paling tepat, namun dalam organisasi kita sedang belajar, ya belajar tentang segala hal, kita belajar bagaimana memperkuat tradisi ilmiah, kita dituntut untuk melakukan pemikiran dan perenungan terhadap sebuah proses dan penentuan sikap, dan ternyata disaat yang bersamaan kita sedang belajar untuk berusaha memperluas daya tampung hati kita terhadap perbedaan, kita sedang berusaha untuk memperkuat daya tahan terhadap ketidak setujuan, saat itu kita pun sedang diajarkan bagaimana memperkokoh kelapangan dada, memupuk jiwa rendah hati, karena ternyata masih banyak rahasia yang belum kita ketahui, masih banyak ilmu yang belum kita fahami dan kuasai dengan baik.
Semoga apa yang kemudian hari ini terjadi dan jikapun ternyata perbedaan itu ada dalam organisasi ini, semoga kita menjadi orang yang paling dewasa dalam bersikap, bijak dalam memahami setiap perbedaan, dan kita masih memiliki kemauan untuk tetap ada dalam barisan perjuangan ini. Karena sejatinya itulah sebuah kenikmatan dalam perjuangan yang tentunya tak kan kita dapatkan dalam fase kehidupan kita yang lain.
Kawan, Jalan juang ini masih panjang, kita hanya baru menyelesaikan sebagian kecil rute perjuangan kita, memang tak jarang muncul celah-celah perbedaan, namun semoga itu tidak selanjutnya akan berubah menjadi lubang besar yang menganga, yang justru akan membuat kita terperosok dan jatuh kedalamnya, tapi kita lah yang kemudian harus  menutupi celah-celah itu denga sikap dan mental kesatria kita, karena yang patut kita ingat ada tabir rahasia yang belum terungkap di depan sana, tugas kita adalah mengungkap tabir itu sejelas-jelasnya, meskipun kita harus lalui terlebih dahulu dengan tertatih, tapi tak masalah karena itulah jalan yang harus kita lalui. Mari berikan Kontribusi sebesar-besarnya, karena bangsa ini menuntut Karya nyata Kita...
Disarikan Dari Artikel Karya Anis Matta dan Tulisan Karya Salim A.Fillah

Titik Pertama Kemudahan, Justru di Tengah Kesulitan


Kesulitan memang menyesakkan. Bahkan menggelapkan pandangan. Tidak sedikit mereka yang putus asa ketika menghadapinya. Sampai tingkat menghabisi nyawanya dengan cara yang tragis. Dampak dari pandangan picik. Melihat suatu peristiwa dari satu sisi saja.

Padahal semua tahu, bahwa dunia ini tidak ada yang abadi. Kebahagiaan tidak abadi. Kesengsaraan juga tidak abadi. Kemudahan tidak selamanya. Kesulitan juga tidak selamanya. Pasti ada pergeseran. Ada saatnya roda berputar. Yang ada dibawah akan naik keatas. Begitu juga sebaliknya.

Ketika kesulitan datang, apalagi ketika kita sudah tidak berdaya dihadapannya, maka sebenarnya itu adalah masa akan datangnya kemudahan. Kesulitan adalah sinyal nyata akan dekatnya masa pertolongan. Karena tidak mungkin kesulitan itu datang dua kali. Selepas kesulitan pasti ada kemudahan.”Kesulitan tidak akan mengalahkan kemudahan dua kali,”begitu jelas Rasulullah.

Inilah rahasia Ilahi yang dibuka tabirnya oleh Rasul. Tinggal seberapa kuat kita meyakininya. Karena janji Allah akan terbukti sejalan dengan keyakinan kita terhadap janji tersebut. Dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Kesulitan adalah harga. Harga untuk membeli kemudahan. Semakin berharga benda,semakin mahal harganya. Semakin berat kesuliltan, berarti kita semakin berpeluang untuk memetik kemudahan dan kesuksesan besar. 

Maka hiburlah diri disaat kesulitan mencambuk langkah kaki. Katakan, bahwa Allah menghendaki sebuah rencana yang jauh lebih besar dan lebih baik dari yang kita rencanakan. Allah Maha Tahu dan Maha Penyayang. Bisa jadi apa yang kita harapkan tidak mendatangkan kebaikan untuk masa depan kita. Maka kemudian Allah menggagalkan rencana itu untuk selanjutnya diganti dengan yang lebih bermanfaat untuk hari depan kita. 

Kini saatnya kita belajar untuk melihat kesulitan dari sisi yang berbeda. Dengan kacamata yang berbeda. Mari kita lihat kesulitan dari pandangan Ilahi, bahwa kesulitan adalah pintu gerbang menuju kemudahan. Gulitanya kesulitan adalah kabar gembira akan munculnya sinar terang kesuksesan.
Suasana yang serba tidak menguntungkan bukan harus disesali. Karena kita tidak akan bisa bangkit dalam keadaan terus menyesali masa lalu dan pesimisme dalam menghadapi masa depan.

Madinah yang ketika itu sudah dikepung sekutu menebarkan rasa takut kepada setiap penduduk Madinah. Tetapi di saat-saat genting seperti itu, justru Rasul bicara tentang optimisme dan harapan masa depan yang tinggi. Di waktu rasa lapar dan takut yang mencekam itu, justru Rasul bicara masalah kejayaan Islam yang akan menguasai Negara-negara super power.
Menangis boleh, menyesal wajar, sedih juga manusiawi. Tetapi jangan lupa untuk membangun sifat optimisme dan harapan besar di balik musibah dan kesulitan. Optimis akan perginya kesulitan dan harapan akan datangnya kemudahan yang sudah diambang pintu.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al In-syirah : 5-6).
Penyebutan kata ‘bersama’ menunjukkan bahwa kemudahan itu akarnya ada bersama kesulitan itu sendiri. Ia seakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kata itu menegaskan, bahwa boleh jadi titik pertama kemudahan itu berada di tengah-tengah kesulitan itu sendiri.

Sebagai ilustrasi, siapa yang tidak mengenal pemain bola Zidan, asal Perancis?? Siapa yang tahu kalau dahulu dia begitu sulit sekali untuk mempunyai sepatu bola. Sampai akhirnya dengan niat yang sungguh-sungguh, dia berhasil menjadi pemain bola ternama. Dan sekarang, untuk mempunyai sepatu bola seperti apa yang dia mau,sudah tersedia didepan mata. 

Jadi, jangan takut akan kesulitan hidup…karena dibalik kesulitan itulah akan ada kemudahan. Seberapa mampu kita melewati garis kesuksesan? Karena setelah melewati garis itulah, segala kemudahan ada didepan kita.

sumber : majalah tarbawi