Rabu, 16 November 2011

Mengelola Diri Dalam Sebuah Perbedaan


aTANAH GERSANG
Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin di kehidupan,setiap orang adalah guru bagi kita
Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat.
betapapun yang mereka berikan pada kita selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya, mereka tetaplah guru-guru bagi kita. bukan karena mereka orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana.
mereka mungkin tanah gersang. Dan kitalah murid yang belajar untuk menjadi bijaksana. kita belajar untuk menjadi embun pada paginya, awan teduh bagi siangnya, dan rembulan yang menghias malamnya.
Tetapi, barangkali, kita justru adalah tanah yang paling gersang. Lebih gersang dari sawah yang kerontang. Lebih cengkar dari lahan kering dikemarau yang panjang. Lebih tandus dari padang rumput yang terbakar dan hangus. Maka bagi kita sang tanah gersang, selalu ada kesempatan menjadi murid yang bijaksana.
seperti matahari yang tak hendak dekat-dekat bumi karena khawatir nyalanya bisa memusnahkan kehidupan. Seperti gunung api yang lahar panasnya kelak menjelma subur, sejuk menghijau berwujud hutan.
            dan seperti batu cadas yang member kesempatan lumut untuk tumbuh di permukaannya. dia izinkan sang lumut menghancurkan tubunya,melembutkan kekerasannya. Demi terciptanya butir-butir tanah. Demi tersedianya unsur  hara agar pepohonan berbuah.
(Salim. A. Fillah).
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah (organisasi). Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan. begitulah kira-kira kata-kata penutup dalam sebuah artikel, karya seorang tokoh yang kemudian menjadi idola, sebagian besar aktivis mahasiswa. Dan ternyata, memang benar adanya, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang akan hadir dalam setiap fase kehidupan kita.
Ya, dan perbedaan merupakan sebuah dinamika yang wajar dan normal dalam sebuah kehidupan berorganisasi. Ia akan selalu mengiringi setiap fase perjalanan sebuah organisasi. Dan hari ini, kita hadir dan dipersatukan disini, bukan tanpa perbedaan, justru kita hari ini datang dengan berbagai macam perbedaan, latar belakang yang beda, pola kehidupan dan cara bekerja, hingga ternyata pola pemikiran kita pun ternyata memiliki bermacam sudut pandang yang beda pula. Namun sekali lagi, itu merupakan hal yang lumrah dalam sebuah organisasi, karena celah-celah perbedaan akan selalu saja muncul.
Dan ternyata, saat ia muncul, janganlah kita menghindarinya, namun syukuri lah kehadirannya, karena saat itu kita sedang belajar untuk mempraktekan teori mengenai keikhlasan. Terutama bagi ia yang memiliki pendapat yang ternyata bukan pendapat yang disetujui oleh suara mayoritas. Tentunya, sebuah pekerjaan yang melelahkan, sebuah beban yang teramat berat bagi siapapun ketika ia harus manut terhadap keputusan yang ternyata tidak ia sepakati, namun ternyata inilah keunikannya, bagi ia yang mampu mengelola ketidak setujuannya, bagi ia yang mampu memanej perbedaan, ini akan menjadi ladang pahala yang besar bagi dirinya, terlebih ketika ia mampu bertahan, tanpa memunculkan riak perbedaan itu maka ia akan menjadi orang yang paling dewasa dan luar biasa karena ia mampu untuk terus berjuang meskipun ada hal yang ia tidak sepakati.
Mari kita mencoba mengkaji diri kita masing-masing, marilah kita bertanya kembali pada hati terkecil kita, apakah yang kita perjuangkan itu hanya reaksi sesaat yang tidak memikirkan dampak kedepannya, apakah yang kita suarakan itu adalah hanya dugaan perasaan ataukah sudah melalui proses yang ilmiah. Seandainya ia hanya lintasan pemikiran subjektif, maka segera hindari, tak perlu kita ngotot untuk mempertahankannya karena justru ia akan menjadi musuh bagi diri dan organisasinya. Tapi ternyata jika ia telah melewati proses yang sistematis dan ilmiah maka saat itu kita sedang belajar untuk menjadi hamba yang tawadhu, Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."
Dan ketika pun, ternyata kita yakin pendapat kita adalah yang paling benar, dibanding keputusan dari hasil kesepakatan bersama, hendaklah kita tetap terlebih dahulu menjaga keutuhan organisasi dahulu, simpanlah sejenak, jangan tergesa-gesa, biarlah ia muncul disaat dan waktu yang tepat. Dan ternyata, pertolongan Allah pun memang akan datang kepada jama’ah yang bersatu padu. Jika seandainya organisasi ini salah dalam mengambil keputusan itu jauh lebih baik dari pada kita harus mengorbankan kesatuan organisasi. Cobalah kita renungi apa yang dikatakan sahabat Rasulullah, Ali Bin Abi Thalib r.a : “Bagaimanapun, kekeruhan jama’ah, kata beliau., jauh lebih baik daripada kejernihan individu”.  Dan ketika hal itu ternyata sebuah kekeliruan, maka kedepannya akan tercipta kesadaran koletif yang baru yang mungkin tidak akan tercapai tanpa kita berbuat salah terlebih dahulu. Namun bukan berarti kita harus berbuat salah terlebih dahulu, untuk sebuah organisasi justru kita harus mengusahakan yang terbaik, keputusan yang paling tepat, namun ada kalanya kita akan mengalami atau melakukan kesalahan dan disinilah dituntut kedewasaan dari setiap individu yang ada dalam menyikapi sebuah perbedaan. Karena harus kita yakini akan ada hikmah yang datang dari setiap keputusan yang kita sepakati bersama, apapun itu dan seperti apapun hasilnya kelak. Karena ketika kita memikirkan yang terbaik untuk organisasi, maka yakini hal yang sama pun sedang dipikirkan oleh saudara-saudara kita yang lain, hanya saja mungkin ketika itu terjadi perbedaan dalam metode atau sikap kita, namun esensinya kita masih sama, yaitu menginginkan sesuatu yang terbaik bagi organisas dan masyarakat /umat yang akan kita layani.
Dan yang paling luar biasa, dalam ketidak setujuan, sejatinya kita sedang belajar mengenai hakikat kehidupan, karena menurut Anis Matta “ dalam ketidak setujuan kita belajar tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah(organisasi), tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna kepercayaan kepada jamaah (organisasi).
Terakhir, tak perlu berkecil hati ketika pendapat kita tidak didengar, atau bahkan kecewa hingga keluar dari barisan perjuangan, tak perlu juga menjadi orang yang tinggi hati ketika ternyata pendapat kita adalah pendapat yang paling tepat, namun dalam organisasi kita sedang belajar, ya belajar tentang segala hal, kita belajar bagaimana memperkuat tradisi ilmiah, kita dituntut untuk melakukan pemikiran dan perenungan terhadap sebuah proses dan penentuan sikap, dan ternyata disaat yang bersamaan kita sedang belajar untuk berusaha memperluas daya tampung hati kita terhadap perbedaan, kita sedang berusaha untuk memperkuat daya tahan terhadap ketidak setujuan, saat itu kita pun sedang diajarkan bagaimana memperkokoh kelapangan dada, memupuk jiwa rendah hati, karena ternyata masih banyak rahasia yang belum kita ketahui, masih banyak ilmu yang belum kita fahami dan kuasai dengan baik.
Semoga apa yang kemudian hari ini terjadi dan jikapun ternyata perbedaan itu ada dalam organisasi ini, semoga kita menjadi orang yang paling dewasa dalam bersikap, bijak dalam memahami setiap perbedaan, dan kita masih memiliki kemauan untuk tetap ada dalam barisan perjuangan ini. Karena sejatinya itulah sebuah kenikmatan dalam perjuangan yang tentunya tak kan kita dapatkan dalam fase kehidupan kita yang lain.
Kawan, Jalan juang ini masih panjang, kita hanya baru menyelesaikan sebagian kecil rute perjuangan kita, memang tak jarang muncul celah-celah perbedaan, namun semoga itu tidak selanjutnya akan berubah menjadi lubang besar yang menganga, yang justru akan membuat kita terperosok dan jatuh kedalamnya, tapi kita lah yang kemudian harus  menutupi celah-celah itu denga sikap dan mental kesatria kita, karena yang patut kita ingat ada tabir rahasia yang belum terungkap di depan sana, tugas kita adalah mengungkap tabir itu sejelas-jelasnya, meskipun kita harus lalui terlebih dahulu dengan tertatih, tapi tak masalah karena itulah jalan yang harus kita lalui. Mari berikan Kontribusi sebesar-besarnya, karena bangsa ini menuntut Karya nyata Kita...
Disarikan Dari Artikel Karya Anis Matta dan Tulisan Karya Salim A.Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar