Minggu, 27 November 2011

Mendaki Sejarah

Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai sebagai pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya punya energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.

Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita memperoleh nafas untuk terus mendaki.

Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberi kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusi energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia. Dengan begitu kita bisa mengukur posisi ketinggian maksimum yang mungkin kita capai pada pandakian yang kita lakukan.

Rute yang jelas dan akurat membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau perasaan terarah, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemanta¬pan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu kemana kita melangkah, berapa jauh jarak yang masih harus kita tem¬puh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Tapi ketika kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah kita lalui. IIham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cerah dalam realitas kekinian.

Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan jarak dan waktu. Dalam kesadaran itu fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efesien, efektif dan maksimal. “Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar”, kata Muhammad Iqbal.

Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Mekkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah saw, generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani hidup dengan penuh kekhusyukan:

"Belumkah datang saatnya bagi orang-orang beriman untuk meng¬khusyukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (AI Qur'an)".

Oleh : Ust. Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar