Minggu, 15 Januari 2012

Psikologi Korupsi


Artikel ini merupakan pandangan dari penulis yang sedikit banyak belajar psikologi, meskipun pada kenyataannya belajarnya hanya sedikit. Indonesia saat ini merupakan salah satu Negara di kawasan Asia yang memiliki rekor tertinggi untuk tingkat korupsi birokrasinya. Hal ini terlihat dari beberapa survey lembaga-lembaga yang konsen pada masalah korupsi, baik dalam maupun luar negeri. Sebelumnya kita bicara sedikit mengenai korupsi. Definisi korupsi hari ini sudah mulai menyempit, yaitu lebih pada korupsi birokrasi atau korupsi pada ranah publik. Secara sederhana adalah jika kita menggelapkan uang SPP untuk kepentingan pribadi itu bukan korupsi melainkan hanya usaha penipuan atau pencurian biasa saja. Sedangkan korupsi pada ranah publik sendiri menurut Arrigo dan Clausen (2003), yaitu mengambil atau menerima keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hokum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Contoh seperti yang terjadi sekarang di bangsa ini, misal, kasus suap wisma atlet, kasus nya gayus tambunan dan berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini.
Secara psikologis, ada beberapa penyebab yang membuat orang berprilaku korup, diantaranya : Pertama, menurut pandangan teori behavioris, bahwa tingkah laku seseorang adalah fungsi dari lingkungannya. Tingkah laku yang Nampak atau yang terjadi adalah dikarenakan stimulus dari lingkungannya. Jadi jika kita hubungkan dengan kasus korupsi, maka didapat bahwa orang yang melakukan korupsi adalah dikarenakan dorongan dari lingkungannnya. Sehingga orang baik pun tak mampu menahan dorongan dari eksternal untuk berbuat korupsi. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan ruang seluas-luasnya bagi individu untuk melakukan korupsi. Namun pada kenyataanya berlaku juga prinsip interaksi antara faktor personality dan lingkungan. Ketika karakteristik kepribadian seseorang sudah sangat kuat, atau memiliki integritas. Pengaruh lingkungan bisa mengecil, namun ketika integritas kepribadian lemah, maka pengaruh tersebut bisa menjadi determinan perilaku yang menyebabkan korupsi.
Beberapa penelitian mengkonfirmasi tentang asumsi diatas, pada umumnya korupsi terjadi karena , kerusakan pda tatanan makro, dimana system hokum, politik, control transparansinya rusak. Sehingga mampu menjadi latar belakang yang menjadi stimulan. Selanjutnya adalah pada tatanan mikro dimana kelompok, departemen atau lainnya mempengaruhi. Dan terakhir memang karena faktor kepribadian yang sudah menunjukan sifat untuk berbuat curang.
Mengutif pendapat Anthonu Eden, dalam buku psikologi politik (Hamdi Muluk :2010), bahwa perilaku korupsi adalah sebuah tindakan terencana,bukan karena keterpaksaan, dilandasi motif tertentu (pada umumnya adalah karena keserakahan, atau kekuasaan serta pemenuhan gengsi). Namun dinamika terbentuknya perilaku lebih kepada apakah lingkungan menghambat atau malah memberikan kelonggaran untuk korupsi. Maka solusinya adalah pertama, lingkungan dalam hal ini Negara, departemen serta institusi harus dibenahi dalam bentuk perbaikan system politik, hukum serta transparansi yang jelas. Kedua, system rekrutasi untuk pegawai atau pelayan public harus dibuat transparan dan akuntabel serta mampu menjaring orang-orang dengan pola kepribadian tidak patologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar