Rabu, 21 Maret 2012

Judicial Review Pasal 50 UU. Sisdiknas Tahun 2003


“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Dua minggu ini, tepatnya di bulan maret 2012, merupakan hari yang begitu bersejarah bagi dunia pendidikan Indonesia. Kenapa dikatakan bersejarah, karena setelah sekian lama isu mengenai RSBI dan SBI yang merupakan amanah dari Pasal 50 UU. Sisdiknas Tahun 2003 menjadi trending topic bagi sebagian besar aktivis peduli pendidikan akhirnya mengalami judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Isu yang menjadi bahan perdiskusian yang cukup menarik dan banyak ditentang oleh sebagian kalangan, akhirnya Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan judicial review. Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas ini dimohonkan sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan yang mengaku tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).[1]
Dalam kesempatan tersebut pemerintah berujar bahwa program RSBI dan SBI sama sekali tidak diskriminasi. Sekolah itu memang khusus di peruntukan bagi siswa dengan kemampuan diatas rata-rata nasional. Selain itu RSBI juga disiapkan untuk mencetak lulusan-lulusan berkualifikasi di atas standar nasional.  Namun beberapa aktivis LSM Pendidikan di beberapa media baik online maupun cetak mengatakan bahwa kebijakan RSBI merupakan sebuah kebijakan yang membingungkan dan cenderung diskriminatif, selain itu kebijakan ini malah merusak sistem pendidikan nasional. Pertama, dalam soal acuan, RSBI maupun SBI penyelenggaraannya tidak sesuai dengan acuan. Kedua, meskipun amanat konstitusi mengharuskan sekolah menyediakan jatah minimal 20 % untuk siswa dari kalangan ekonomi lemah, namun kenyataanya masih nihil, bahkan sekolah akhirnya memungut biaya tambahan pendidikan. Ketiga,  pemerintah menggunakan negara OECD (forum 34 negara kaya di zona Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) sebagai acuan penyelenggaraan RSBI, ternyata itu hanya mengacaukan sistem pendidikan nasional yang sudah ada. [2]
Hal senada di ungkapkan oleh Soedijarto, Guru Besar (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta,  seharusnya tidak perlu ada RSBI, namun yang perlu ada adalah sekolah nasional yang standarnya tidak kalah dengan internasional. RSBI dan kualitas adalah hal yang berbeda.
Menurut Soedijarto, tidak ada negara yang sekolahnya mengaku standar internasional, Universitas Harvard tidak mengakui menggunakan sistem berstandar internasional. “Lalu, mengapa kita pakai label seperti itu? Label RSBI itu yang mengganggu,” jelasnya.
Selain itu, Soedijarto memaparkan founding fathers (para pendiri negara) menginginkan seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak seperti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Akan tetapi, pada kenyataannya, RSBI justru hanya untuk anak tertentu. “Mengapa founding fathers menginginkan dalam pembukaan ‘…mencerdaskan kehidupan bangsa…’, bukan asal semua orang Indonesia sekolah yang isinya belajar membaca, menulis, kemudian UN. Dalam pandangan founding fathers, seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak sepeti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, semua anak Indonesia harus menjadi mengikuti pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, tapi ternyata diadakan sekolah yang hanya orang tertentu,” paparnya.[3]
RSBI dan SBI, Sebuah Model Kastanisasi Pendidikan
Hari ini, ada kecenderungan bagi para orang tua untuk berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah yang mempunyai label “Bertaraf Internasional”. Akibat tingginya permintaan pasar, maka sekolah negeri mulai berlomba untuk melabeli sekolah dengan label “Bertaraf Internasional”. Berbagai fasilitas pun disulap menjadi fasilitas super mewah, mulai dari kelas dengan ubin mahal, meja dan kursi hanya untuk satu orang, Proyektor, AC, laboratorium lengkap serta penggunaan bahasa asing sebagai pengantar saat guru mengajar di kelas.
Sekolah negeri berupaya untuk menawarkan fasilitas yang memang sesuai dengan standar internasional, karena mendapat label bertaraf internasional, maka tarif nya pun ikut menjadi internasional pula, bahkan tak jarang warga miskin harus tersisih karena tidak mempunyai cukup modal untuk bisa masuk ke dalam sekolah dengan label internasional. Meskipun di ketahui peserta didik tersebut memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan apa yang disyaratkan.
Selain diskriminasi diatas, tak jarang sekolah yang secara kualifikasi tidak memenuhi standar, akhirnya mereka memaksakan untuk mencapai standar tersebut dengan segala cara. Misalnya ada sekolah yang hanya menyiapkan ruangan kosong, sementara fasilitas pendukung di bebankan pada biaya yang harus di bayar oleh orang tua siswa. Selain itu pendidikan sebagai hak dasar dari individu yang harus di penuhi oleh negara akhirnya terabaikan, pendidikan pada akhirnya hanya menjadi barang mahal dan eksklusif, artinya pendidikan berkualitas hanya dapat dinikmati bagi siswa yang mempunyai orang tua kaya.
Seperti yang dikemukakan pada prolog diatas, karena menggunakan standar internasional, maka selain standar pendidikan nasional, RSBI dan SBI pun menggunakan standar asing. Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X[4]. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional. Dalam hal ini karena negara anggota OECD itu terdiri dari 35 negara, maka tidak disebutkan negara mana yang kemudian pemerintah adopsi sistem pendidikannya. Dari mulai kurikulum, hingga evaluasi pendidikannya.
Selain itu ternyata di negara-negara lain, yang sudah berkembang pesat pendidikannya bahkan dikatakan maju, seperti singapura, australia dan selandia Baru, pemerintah mengharamkan sistem pendidikan asing masuk dan terintegrasi dengan sistem pendidikan negaranya. Atau secara sederhana masuk dalam kurikulum sekolah. Hanya sekolah yang benar-benar bertaraf Internasional yang diperbolehkan untuk menggunakan sistem pendidikan dari negara lain[5].
Yang Harus dilakukan Bukan Labelisasi Tapi Standarisasi
Keberadaan sekolah dengan label “Bertaraf Internasional” memang tidak bisa dipungkiri menjadi polemik tersendiri di dunia pendidikan Indonesia. Ini merupakan salah satu rangkaian masalah yang harus di hadapi oleh pendidikan Indonesia. RSBI atau SBI keberadaannya memang akhirnya menuai berbagai kritik dari berbagai kalangan, karena dengan labelisasi yang terjadi adalah timbulnya kecemburan sosial di masyarakat, karena hanya segelintir orang yang dapat menikmati sekolah berlabel internasional ini. karena tidak bisa dipungkiri selain kemampuan akademik, kemampuan finansial orang tua siswa pun menjadi point tersendiri dalam meluluskan calon peserta didik, apakah ia diterima atau tidak.
Selain itu negara benar-benar tidak menjalankan ketentuan yang termaktub dalam konstitusi bangsa ini, pendidikan sebagai hak dasar individu sudak selayaknya dijamin oleh pemerintah. Disinilah kewajiban negara untuk menciptakan sekolah yang memang mempunyai standar pendidikan nasional. hal ini harus dilakukan agar tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, dapat dicapai dengan optimal.
Standarisasi sangat penting adanya hal ini pun berhubungan dengan watak dan karakteristik bangsa Indonesia yang memang berbeda dengan negara lain. Standarisasi yang akan dilakukan terhadap setiap sekolah juga harus mengakomodir kearifan lokal serta budaya yang dimiliki oleh bangsa kita. Sehingga pada akhirnya sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memang benar-benar menjadi wahana candradimuka menciptakan manusia-manusia Indonesia yang berwatak Indonesia sejati, mandiri namun memiliki daya saing global dan tentunya tanpa melupakan karakter bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar