Senin, 15 Oktober 2012

JAKARTA PUNYA PEMIMPIN BARU (Analisis Sederhana di Balik Kemenangan Jokowi – Ahok)


“Horreee Jakarta punya gubernur baru…….”
Senin, tanggal 15 Oktober 2012 Mas Jokowi dan Koko Basuki telah resmi dilantik menjadi orang nomor satu dan nomor dua di Ibu Kota. Banyak PR yang telah menanti mereka, mulai dari penyelesaian masalah banjir, kemacetan yang tak berujung, birokrasi atau perizinan yang cukup jelimet, dan seabreg masalah lain yang sekarang menggelayuti Ibu kota republik ini.
Memang tidak salah jika sekarang masyarakat menaruh ekspektasi besar di pundak Mas Jokowi dan Koko Basuki, dengan seabreg prestasi yang telah dicapai oleh dua orang tersebut (padahal masih ada lho kepala daerah yang prestasinya jauh di banding dua orang ini,ehhehhe, tapi kenapa ye mereka kayaknya yang udah berprestasi banyak banget, ada yang tau kagak…ayoo Tanya kenapa?). Mas Jokowi dengan kepemimpinannya di Solo selama 7 Tahun banyak mendapat respon yang positif dari berbagai kalangan tentang keberhasilan memajukan Solo, pun halnya dengan Koko Basuki. Sikap masyarakat ini tentunya didasari akan pengalaman mereka selama hidup di Jakarta dan telah mengalami berkali-kali pergantian pemimpin, tapi selalu saja masalah di Jakarta kagak kelar-kelar.
Namun nampaknya masyarakat Jakarta jangan dulu berharap terlalu terlalu besar deh (ni bukan untuk menciutkan harapan orang Jakarta, atau karena gw bukan orang Jakarta), tapi ini terlebih karena memimpin Kota atau kabupaten tidak sama dengan memimpin provinsi apalagi ini Ibu Kota Negara. Selain itu kemenangan Jokowi bukan semata-mata karena kualitas kepemimpinannya (memang sih kualitas kepemimpinannya juga gak jelek-jelek amat), tapi ada beberapa factor yang menyebabkan pasangan ini bisa jadi jawara kelas berat (wkwkwkwk).
Pertama, kemenagan jokowi di DKI bukan sebuah kebetulan atau sebuah hasil yang diluar perkiraan semua pihak, tapi kemenangan Jokowi sudah disiapkan jauh-jauh hari. Buktinya sebelum masa PILKADA DKI, media sudah mulai memblow up, besar-besaran tentang mas Jokowi mulai dari kebersahajaannya mas Jokowi, prestasi yang di ukir selama ini,  lalu proyek mobilnya SMK (yang menurut beberapa sumber proyek ini sejatinya milik departemen perindustiran, bener kagak tuh?) sehingga mau tidak mau Jokowi kemudian menjadi konsumsi berita masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Media dalam hal ini sukses mengantarkan Jokowi menjadi pemenang PILKADA DKI, hal ini semakin kentara ketika PILKADA memasuki putara kedua dimana Ring Pilkada hanya tersisa dua pasang yaitu Jokowi – Ahok serta Foke – Nara. Pemberitaan tidak berimbang dari media tentang kedua calon menyebabkan terjadinya ketimpangan informasi, akhirnya Jokowi yang citranya terus melambung, semetara foke semakin jatuh, bahkan dalam setiap kesempatan bincang-bincang di media, pasti yang di undang adalah simpatisannya Jokowi (red: agen pemenangan rahasia) sehingga ini semakin membentuk opini masyarakat dan mengarah pada salah satu kandidat. Sehingga ketika ada fakta-fakta yang menyudutkan Jokowi dan Ahok, masyarakat sudah acuh dengan hal itu, karena mereka sudah kadung kepincut dengan mas Jokowi yang mendapat citra pemberitaan yang bagus. Padahal jika dilihat secara objektif Foke juga punya prestasi, ya tapi karena dia pun banyak “boroknya” serta kadung membuat kecewa berbagai pihak, akhirnya dia kemakan tuh sama ulahnya sendiri.
Kedua, gaya politik yang serampangan dari Foke di awal-awal Pilkada tidak disukai oleh masyarakat DKI, hal ini jauh berbeda dengan gaya politiknya Mas Jokowi yang kalem serta membumi (itu juga kata media lhoo). Mulai dari Foke yang selalu membuat blunder setiap kali ia menghadiri acara-acara pemerintah DKI dengan menyelipkan sedikit-sedikit kampanye Pilgubnya, atau gaya nya yang arogan membuat jalan bagi jokowi semakin lebar untuk meraih kursi DKI -1.
Ketiga, karena media begitu lincah memainkan perannya sebagai Juru Kampanye Rahasia Jokowi, sehingga masyarakat akhirnya terhipnotis dengan hal tersebut, ya akhirnya bisa dibaca, masyarakat berbondong-bondong dengan sukarela memberikan satu suaranya untuk kemenangan Mas Jokowi, atau secara sederhana masyarakat kita masih senang dengan politik figuritas (bener gak yah?hehe, maklum buka jurusan sospol sih kuliahnya).
Keempat, ini merupakan kesimpulan dari apa yang terjadi bahwa harus kita akui marketing politik Jokowi dan timnya sangat cerdas dan inovatif, dan mampu masuk ke semua kalangan yang menjadi pembeda pasangan ini dengan pasangan yang lainnya.
DKI punya pemimpin baru, perubahan yang dijanjikan dalam setiap kampanye harus benar-benar di kawal agar janji itu dapat terealiasasi dan warga Jakarta memang mendapatkan apa yang menjadi hak nya , jangan sampai kemenangan Jokowi –Ahok ini merupakan alat beberapa pihak untuk meraih keuntungan yang justru dapat melemahkan kinerja Jokowi sendiri dan tentunya menambah masalah bagi Ibu Kota Negeri ini. Jika memimjam istilahnya Bu Megawati Soekarno Puti dalam Pidato Politik Pembukaan Rakernas kedua PDI-P (Catat : gw bukan kader moncong putih, cumin kemarin gw lihat pidatonya di Tv,hehe), “jangan ada penumpang gelap yang bersuka cita dalam kemenangan Jokowi-Ahok ini”, nah oleh karenanya penumpang gelap itu harus di antisipasi dan segera di musnahkan karena hanya akan menghambat dan merusak jalannya kepemimpinan Jokowi Ahok (ya termasuk kepentingan partai ibu sendiri yaa..hehe, jika itu hanya untuk kepentingan kader partai atau partai, lebih baik disingkirkan saja Mas Joko), kembali memimjam perkataannya Bu Mantan Presiden RI yang ke 5, bahwa “kemenangan Jokowi-Ahok adalah kemenangan suara diam rakyat”, berarti rakyat lah yang paling berhak mendapatkan keuntungan dari kemenangan pilkada ini, bukan ibu, atau partai moncong putih bukan pula penumpang gelap yang disebut Megawati dalam Pidato Politiknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar