Rabu, 25 Januari 2017

FENOMENA BLAST (Boring, Lonely, Anger/Affraid, Stress, Tired) PADA REMAJA
(Bagian 1)

(sumber gambar: hanyalewat.com)

Akhirnya setelah sekian lama saya vakum menulis blog, alhamdulillah hari ini saya berkesempatan untuk kembali membuka blog yang sudah sekian lama mati suri. Tulisan ini lahir setelah saya mengikuti Rakernas dan Workshop MGBK Indonesia dari tanggal 20-21 Januari 2017. Dalam pertemuan tersebut panitia menghadirkan begitu banyak pembicara yang kompeten di bidang pendidikan. Dari sekian banyak pemateri yang hadir saya terkesan dengan pemaparan yang disampaikan oleh Dr. Netty Herawati, yang tak lain adalah istri dari Gubernur Jabar kang Aher. Dalam materi yang disampaikannya beliau lebih banyak membahas mengenai bidang yang selama ini beliau geluti yaitu dunia perempuan dan anak yang kemudian dikaitkan dengan peran Bimbingan dan Konseling dalam menangani masalah yang sering timbul pada perempuan dan anak, terutama di daerah Jawa Barat. Dalam salah materi yang disampaikan, beliau memaparkan mengenai Fenomena BLAST, atau singkatan dari Boring, Lonely, Anger/Affraid, Stress, Tired. Sebenarnya materi ini beliau kutip dari materi yang disampaikan Bunda Elly Risman, seorang psikolog yang konsen dengan anak dan orang tua. Apa sebenarnya Fenomena BLAST itu, dan apa pengaruhnya bagi remaja. BLAST seperti yang di sampaikan sebelumnya merupakan akronim dari Boring, Lonely, Anger/Affraid, Stress, Tired.
Boring (Remaja yang bosan), Kondisi ini terjadi salah satu faktornya karena orang tua yang berbicara “tanpa sadar” pada anaknya. Tanpa sadar disini maksudnya adalah orang tua acap kali berbicara dalam kondisi emosi yang tidak stabil, dikarenakan tuntutan pekerjaan atau kondisi rumah tangga yang labil sehingga kata yang diucapkan sekenanya saja bahkan kadang menjatuhkan psikologis anak. Berbicara tanpa sadar atau tidak sengaja memang efeknya tidak terjadi hari ini, namun jika kondisi ini terjadi berulang kali maka masa depan anak yang menjadi taruhannya, anak bisa jadi tidak memiliki kepercayaan diri, takut untuk mencoba sesuatu yang baru dan tidak mampu membuat keputusan sendiri. Faktor lain yang membuat anak Boring adalah orang tua yang tidak pernah melihat ke dalam dirinya (look in), mereka lebih banyak menuntut (look out) pada anaknya, tanpa berusaha memahami kondisi diri sendiri atau kondisi anaknya, sehingga menyebabkan anak berada dalam kondisi boring.
Lonely (Remaja Kesepian), kesepian disini bukan dalam arti sebenanya, namun kondisi ini terjadi karena keadaan rumah yang seperti “kuburan”, dimana semua anggota keluarga sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang tua yang bekerja berangkat pagi pulang malam, anak yang sekolah setelah itu mengikuti bimbingan belajar dan pulang dalam kondisi kelelahan. Tidak adanya komunikasi yang intens serta bimbingan dari orang tua hal ini menyebabkan anak mengalami kesepian secara psikis.
Anger/Affraid (Marah/Takut), kondisi dimana tidak adanya tawa dan canda dalam keluarga, orang tua bicara pada anaknya ketika ada perlu atau memarahi saja, Anak akhirnya mengalami kondisi marah akan keadaan tersebut, anak mengalami situasi dimana ia tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu, anak juga takut jika dikemudian hari ia melakukan sesuatu yang salah maka akan terkena kemarahan orang tuanya.
Stress (Tertekan), anak yang mungkin terbebani dengan kondisi kurikulum sekolah yang memberatkan, jam belajar yang panjang ditambah harus mengikuti pelajaran tambahan diluar jam pelajaran sekolah. Persaingan yang ketat dengan teman sebayanya dalam berprestasi, membuat anak menjadi tertekan akan kondisi tersebut.
Tired (Kelelahan), ini barangkali klimaks dari semua kondisi serba tidak nyaman yang remaja alami, mereka lelah dengan semua rutinitas yang ada, yang sejatinya bukanlah kemauan atau inisiatif diri sendiri, mereka lelah dengan kondisi orang tua yang hanya menuntut, orang tua yang tidak bisa memahami apa sebenarnya yang menjadi keinginan dirinya.
Sehingga remaja untuk membutuhkan media atau sarana untuk melampiaskan BLAST tersebut. Namun sayangnya terkadang remaja kebingungan dalam menyalurkan kondisi BLAST tersebut, sehingga ia mencari pelarian kepada hal-hal yang bersifat negatif. Diantaranya, kecanduan pornografi sebagai kompensasi dari sepinya kondisi rumah, serta terjerumus dalam kenakalan remaja.

Untuk media penyaluran serta solusi dari BLAST yang terjadi pada remaja akan saya sampaikan di artikel bagian kedua. Terima Kasih

Rabu, 16 Maret 2016

Pendaki

Suatu ketika, ada seorang pendaki gunung yang sedang bersiap-siap  melakukan perjalanan. Di punggungnya, ada ransel carrier dan beragam carabiner (pengait) yang tampak bergelantungan. Tak lupa tali-temali yang disusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat, persiapan yang dilakukan pun lebih lengkap.

Kini, di hadapannya menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat, tertutup salju yang putih. Ada awan berarak-arak di sekitarnya, membuat tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi di  dalamnya. Mulailah pendaki muda ini melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang di sandangnya, tampak menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.

Setelah beberapa berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding  yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam, ia harus mendaki dengan tali temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan, tiba-tiba terdengar gemuruh yang datang dari atas. Astaga, ada badai salju yang datang tanpa disangka. Longsoran salju tampak deras menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras, terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas-hempas ke arah dinding.

Badai itu terus berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah, tali-temali dan pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua perlengkapannya telah lenyap, hanya ada sebilah pisau yang ada di pinggangnya. Kini ia tampak tergantung terbalik di dinding yang terjal itu. Pandangannya kabur, karena semuanya tampak memutih. ia tak tahu dimana ia berada. Sang pendaki begitu cemas, lalu ia berkomat-kamit, memohon doa kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana ini. Mulutnya terus 
bergumam, berharap ada pertolongan Tuhan datang padanya. Suasana hening setelah badai. Di tengah kepanikan itu, tampak  terdengar suara dari hati kecilnya yang menyuruhnya melakukan sesuatu. "Potong tali itu....potong tali itu. Terdengar senyap melintasi telinganya.

Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan? Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding ini begitu terjal? 
Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku bisa tahu? Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia merenungi keputusan ini, dan ia tak mengambil keputusan apa-apa...

Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan ada tubuh yang tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu tampak  membeku, dan tampak telah meninggal karena kedinginan. Sementara itu, batas tubuh itu dengan tanah, hanya berjarak 1 meter saja....

***

Teman, kita mungkin kita akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu,  yang tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan bisa selamat dengan membiarkannya terjatuh ke tanah yang hanya berjarak 1 meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan karena tali itulah yang justru membuatnya terhalang.

Begitulah, kadang kita berpikir, mengapa Sang Pencipta tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin sering merasa, mengapa ada banyak sekali beban, masalah, hambatan yang kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai-badai salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja, jalan yang lurus, tanpa perlu menanjak, agar kita terbebas dari semua halangan itu?

Namun teman, cobaan yang diberikan Sang Pencipta buat kita, adalah latihan, adalah ujian, adalah layaknya besi-besi yang ditempa, adalah seperti pisau-pisau yang terus diasah. Sesungguhnya, di dalam semua ujian, dan latihan itu, ada tersimpan petunjuk-petunjuk, ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA PERCAYA. Ya, asal kita percaya.

Seberapa besar rasa percaya kita kepada Sang Pencipta, sehingga mampu membuat kita "memotong tali pengait" saat kita tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita kepada Sang Pencipta, hingga kita mau menyerahkan semua yang ada dalam diri kita kepada-Nya? Karena percaya adanya di dalam hati, maka tanamkan terus hal itu dalam kalbumu. Karena rasa percaya tersimpan dalam hati, maka penuhilah nuranimu dengan kekuatan itu.

Teman, percayalah, akan ada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta dalam setiap langkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali, dan temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya, maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka.

Senin, 15 Oktober 2012

JAKARTA PUNYA PEMIMPIN BARU (Analisis Sederhana di Balik Kemenangan Jokowi – Ahok)


“Horreee Jakarta punya gubernur baru…….”
Senin, tanggal 15 Oktober 2012 Mas Jokowi dan Koko Basuki telah resmi dilantik menjadi orang nomor satu dan nomor dua di Ibu Kota. Banyak PR yang telah menanti mereka, mulai dari penyelesaian masalah banjir, kemacetan yang tak berujung, birokrasi atau perizinan yang cukup jelimet, dan seabreg masalah lain yang sekarang menggelayuti Ibu kota republik ini.
Memang tidak salah jika sekarang masyarakat menaruh ekspektasi besar di pundak Mas Jokowi dan Koko Basuki, dengan seabreg prestasi yang telah dicapai oleh dua orang tersebut (padahal masih ada lho kepala daerah yang prestasinya jauh di banding dua orang ini,ehhehhe, tapi kenapa ye mereka kayaknya yang udah berprestasi banyak banget, ada yang tau kagak…ayoo Tanya kenapa?). Mas Jokowi dengan kepemimpinannya di Solo selama 7 Tahun banyak mendapat respon yang positif dari berbagai kalangan tentang keberhasilan memajukan Solo, pun halnya dengan Koko Basuki. Sikap masyarakat ini tentunya didasari akan pengalaman mereka selama hidup di Jakarta dan telah mengalami berkali-kali pergantian pemimpin, tapi selalu saja masalah di Jakarta kagak kelar-kelar.
Namun nampaknya masyarakat Jakarta jangan dulu berharap terlalu terlalu besar deh (ni bukan untuk menciutkan harapan orang Jakarta, atau karena gw bukan orang Jakarta), tapi ini terlebih karena memimpin Kota atau kabupaten tidak sama dengan memimpin provinsi apalagi ini Ibu Kota Negara. Selain itu kemenangan Jokowi bukan semata-mata karena kualitas kepemimpinannya (memang sih kualitas kepemimpinannya juga gak jelek-jelek amat), tapi ada beberapa factor yang menyebabkan pasangan ini bisa jadi jawara kelas berat (wkwkwkwk).
Pertama, kemenagan jokowi di DKI bukan sebuah kebetulan atau sebuah hasil yang diluar perkiraan semua pihak, tapi kemenangan Jokowi sudah disiapkan jauh-jauh hari. Buktinya sebelum masa PILKADA DKI, media sudah mulai memblow up, besar-besaran tentang mas Jokowi mulai dari kebersahajaannya mas Jokowi, prestasi yang di ukir selama ini,  lalu proyek mobilnya SMK (yang menurut beberapa sumber proyek ini sejatinya milik departemen perindustiran, bener kagak tuh?) sehingga mau tidak mau Jokowi kemudian menjadi konsumsi berita masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Media dalam hal ini sukses mengantarkan Jokowi menjadi pemenang PILKADA DKI, hal ini semakin kentara ketika PILKADA memasuki putara kedua dimana Ring Pilkada hanya tersisa dua pasang yaitu Jokowi – Ahok serta Foke – Nara. Pemberitaan tidak berimbang dari media tentang kedua calon menyebabkan terjadinya ketimpangan informasi, akhirnya Jokowi yang citranya terus melambung, semetara foke semakin jatuh, bahkan dalam setiap kesempatan bincang-bincang di media, pasti yang di undang adalah simpatisannya Jokowi (red: agen pemenangan rahasia) sehingga ini semakin membentuk opini masyarakat dan mengarah pada salah satu kandidat. Sehingga ketika ada fakta-fakta yang menyudutkan Jokowi dan Ahok, masyarakat sudah acuh dengan hal itu, karena mereka sudah kadung kepincut dengan mas Jokowi yang mendapat citra pemberitaan yang bagus. Padahal jika dilihat secara objektif Foke juga punya prestasi, ya tapi karena dia pun banyak “boroknya” serta kadung membuat kecewa berbagai pihak, akhirnya dia kemakan tuh sama ulahnya sendiri.
Kedua, gaya politik yang serampangan dari Foke di awal-awal Pilkada tidak disukai oleh masyarakat DKI, hal ini jauh berbeda dengan gaya politiknya Mas Jokowi yang kalem serta membumi (itu juga kata media lhoo). Mulai dari Foke yang selalu membuat blunder setiap kali ia menghadiri acara-acara pemerintah DKI dengan menyelipkan sedikit-sedikit kampanye Pilgubnya, atau gaya nya yang arogan membuat jalan bagi jokowi semakin lebar untuk meraih kursi DKI -1.
Ketiga, karena media begitu lincah memainkan perannya sebagai Juru Kampanye Rahasia Jokowi, sehingga masyarakat akhirnya terhipnotis dengan hal tersebut, ya akhirnya bisa dibaca, masyarakat berbondong-bondong dengan sukarela memberikan satu suaranya untuk kemenangan Mas Jokowi, atau secara sederhana masyarakat kita masih senang dengan politik figuritas (bener gak yah?hehe, maklum buka jurusan sospol sih kuliahnya).
Keempat, ini merupakan kesimpulan dari apa yang terjadi bahwa harus kita akui marketing politik Jokowi dan timnya sangat cerdas dan inovatif, dan mampu masuk ke semua kalangan yang menjadi pembeda pasangan ini dengan pasangan yang lainnya.
DKI punya pemimpin baru, perubahan yang dijanjikan dalam setiap kampanye harus benar-benar di kawal agar janji itu dapat terealiasasi dan warga Jakarta memang mendapatkan apa yang menjadi hak nya , jangan sampai kemenangan Jokowi –Ahok ini merupakan alat beberapa pihak untuk meraih keuntungan yang justru dapat melemahkan kinerja Jokowi sendiri dan tentunya menambah masalah bagi Ibu Kota Negeri ini. Jika memimjam istilahnya Bu Megawati Soekarno Puti dalam Pidato Politik Pembukaan Rakernas kedua PDI-P (Catat : gw bukan kader moncong putih, cumin kemarin gw lihat pidatonya di Tv,hehe), “jangan ada penumpang gelap yang bersuka cita dalam kemenangan Jokowi-Ahok ini”, nah oleh karenanya penumpang gelap itu harus di antisipasi dan segera di musnahkan karena hanya akan menghambat dan merusak jalannya kepemimpinan Jokowi Ahok (ya termasuk kepentingan partai ibu sendiri yaa..hehe, jika itu hanya untuk kepentingan kader partai atau partai, lebih baik disingkirkan saja Mas Joko), kembali memimjam perkataannya Bu Mantan Presiden RI yang ke 5, bahwa “kemenangan Jokowi-Ahok adalah kemenangan suara diam rakyat”, berarti rakyat lah yang paling berhak mendapatkan keuntungan dari kemenangan pilkada ini, bukan ibu, atau partai moncong putih bukan pula penumpang gelap yang disebut Megawati dalam Pidato Politiknya. 

Senin, 30 April 2012

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Selang dua hari lagi, bangsa Indonesia akan kembali memperingati “Hari Pendidikan Nasional”. Setiap tahun rakyat Indonesia selalu memperingatinya, beragam cara dilakukan untuk memperingati hari spesial ini, namun sungguh sangat di sayangkan ternyata bangsa Indonesia terjebak dalam seremonial belaka, kita seolah telah lupa bahwa hakikat dari hari spesial ini bukan terletak pada seberapa khidmat Upacara yang dilakukan, atau seberapa besar acara yang di buat setiap lembaga pendidikan, tapi ini berbicara bagaimana spirit Hardiknas ini bisa terus terjaga hingga seluruh anak bangsa merasakan pendidikan yang berkeadilan.

Untuk apa kita melakukan upacara jika ternyata setiap tahunnya masih banyak anak bangsa yang terputus masa depannya karena gaji ayahnya tak cukup untuk ia bisa duduk belajar bersama teman-temannya, untuk apa kita membuat acara meriah jika pendidikan kita belum bisa memberikan ruang yang luas dan besar untuk anak bangsa bisa berkreasi dan berinovasi mengembangkan potensi diri.

Sudah terlalu bosan rakyat bangsa ini dengan janji- janji manis para pejabat pemerintah yang ternyata hanya duduk manis tapi tidak mau tau kondisi anak bangsa yang harus berjuang melawan maut untuk menggapai cita.

Jika seandainya pemerintah memang ternyata tidak serius untuk menepati janji kemerdekaan, biarlah kami pemuda Indonesia yang mengambil alih peran untuk menepati janji itu. Karena dengan segala apa yang kami punya, kami masih mampu untuk merubah dunia dengan apa yang kami miliki, semangat kami masih mampu merubah awan gelap negeri ini berganti dengan langit cerah berhiaskan pelangi tawa dari setiap anak bangsa.

Kita, Pemuda Indonesia, tak perlu lagi bertanya “apa kabar pendidikan Indonesia”? karena hal itu sudah selesai dan tak perlu lagi dibahas panjang lebar, karena toh pendidikan bangsa ini masih berada di kubangan yang sama, masih berada di lubang yang sama, kubangan dan lubang stagnasi.
Bangsa ini butuh pemuda yang tak hanya bisa bertanya tanpa aksi nyata, tapi bangsa ini menanti pemuda yang mau turun sampai akar rumput untuk berusaha menepati janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Semoga kelak kita tak lagi melihat anak dan orang tua yang menangis karena di tolak mentah-mentah oleh sekolah atau Perguruan Tinggi hanya karena uang yang mereka bawa tak sebanding dengan harga yang harus mereka bayar. Semoga kelak yang kita saksikan adalah tawa riang dan bahagia dari setiap anak bangsa karena telah mendapatkan apa yang dijanjikan kepada mereka.
SEMANGAT BERKONTRIBUSI, _Dari Pemuda Untuk Pendidikan Indonesia_

Refleksi Menjelang Hardiknas _02 Mei 2012_

Kamis, 19 April 2012

Judicial Review Pasal 50 UU. Sisdiknas Tahun 2003



Add caption

“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Dua minggu ini, tepatnya di bulan maret 2012, merupakan hari yang begitu bersejarah bagi dunia pendidikan Indonesia. Kenapa dikatakan bersejarah, karena setelah sekian lama isu mengenai RSBI dan SBI yang merupakan amanah dari Pasal 50 UU. Sisdiknas Tahun 2003 menjadi trending topic bagi sebagian besar aktivis peduli pendidikan akhirnya mengalami judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Isu yang menjadi bahan perdiskusian yang cukup menarik dan banyak ditentang oleh sebagian kalangan, akhirnya Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan judicial review. Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas ini dimohonkan sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan yang mengaku tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).[1]
Dalam kesempatan tersebut pemerintah berujar bahwa program RSBI dan SBI sama sekali tidak diskriminasi. Sekolah itu memang khusus di peruntukan bagi siswa dengan kemampuan diatas rata-rata nasional. Selain itu RSBI juga disiapkan untuk mencetak lulusan-lulusan berkualifikasi di atas standar nasional.  Namun beberapa aktivis LSM Pendidikan di beberapa media baik online maupun cetak mengatakan bahwa kebijakan RSBI merupakan sebuah kebijakan yang membingungkan dan cenderung diskriminatif, selain itu kebijakan ini malah merusak sistem pendidikan nasional. Pertama, dalam soal acuan, RSBI maupun SBI penyelenggaraannya tidak sesuai dengan acuan. Kedua, meskipun amanat konstitusi mengharuskan sekolah menyediakan jatah minimal 20 % untuk siswa dari kalangan ekonomi lemah, namun kenyataanya masih nihil, bahkan sekolah akhirnya memungut biaya tambahan pendidikan. Ketiga pemerintah menggunakan negara OECD (forum 34 negara kaya di zona Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) sebagai acuan penyelenggaraan RSBI, ternyata itu hanya mengacaukan sistem pendidikan nasional yang sudah ada. [2]
Hal senada di ungkapkan oleh Soedijarto, Guru Besar (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta,  seharusnya tidak perlu ada RSBI, namun yang perlu ada adalah sekolah nasional yang standarnya tidak kalah dengan internasional. RSBI dan kualitas adalah hal yang berbeda.
Menurut Soedijarto, tidak ada negara yang sekolahnya mengaku standar internasional, Universitas Harvard tidak mengakui menggunakan sistem berstandar internasional. “Lalu, mengapa kita pakai label seperti itu? Label RSBI itu yang mengganggu,” jelasnya.
Selain itu, Soedijarto memaparkan founding fathers (para pendiri negara) menginginkan seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak seperti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Akan tetapi, pada kenyataannya, RSBI justru hanya untuk anak tertentu. “Mengapa founding fathers menginginkan dalam pembukaan ‘…mencerdaskan kehidupan bangsa…’, bukan asal semua orang Indonesia sekolah yang isinya belajar membaca, menulis, kemudian UN. Dalam pandangan founding fathers, seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak sepeti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, semua anak Indonesia harus menjadi mengikuti pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, tapi ternyata diadakan sekolah yang hanya orang tertentu,” paparnya.[3]
RSBI dan SBI, Sebuah Model Kastanisasi Pendidikan
Hari ini, ada kecenderungan bagi para orang tua untuk berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah yang mempunyai label “Bertaraf Internasional”. Akibat tingginya permintaan pasar, maka sekolah negeri mulai berlomba untuk melabeli sekolah dengan label “Bertaraf Internasional”. Berbagai fasilitas pun disulap menjadi fasilitas super mewah, mulai dari kelas dengan ubin mahal, meja dan kursi hanya untuk satu orang, Proyektor, AC, laboratorium lengkap serta penggunaan bahasa asing sebagai pengantar saat guru mengajar di kelas.
Sekolah negeri berupaya untuk menawarkan fasilitas yang memang sesuai dengan standar internasional, karena mendapat label bertaraf internasional, maka tarif nya pun ikut menjadi internasional pula, bahkan tak jarang warga miskin harus tersisih karena tidak mempunyai cukup modal untuk bisa masuk ke dalam sekolah dengan label internasional. Meskipun di ketahui peserta didik tersebut memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan apa yang disyaratkan.
Selain diskriminasi diatas, tak jarang sekolah yang secara kualifikasi tidak memenuhi standar, akhirnya mereka memaksakan untuk mencapai standar tersebut dengan segala cara. Misalnya ada sekolah yang hanya menyiapkan ruangan kosong, sementara fasilitas pendukung di bebankan pada biaya yang harus di bayar oleh orang tua siswa. Selain itu pendidikan sebagai hak dasar dari individu yang harus di penuhi oleh negara akhirnya terabaikan, pendidikan pada akhirnya hanya menjadi barang mahal dan eksklusif, artinya pendidikan berkualitas hanya dapat dinikmati bagi siswa yang mempunyai orang tua kaya.
Seperti yang dikemukakan pada prolog diatas, karena menggunakan standar internasional, maka selain standar pendidikan nasional, RSBI dan SBI pun menggunakan standar asing. Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X[4]. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional. Dalam hal ini karena negara anggota OECD itu terdiri dari 35 negara, maka tidak disebutkan negara mana yang kemudian pemerintah adopsi sistem pendidikannya. Dari mulai kurikulum, hingga evaluasi pendidikannya.
Selain itu ternyata di negara-negara lain, yang sudah berkembang pesat pendidikannya bahkan dikatakan maju, seperti singapura, australia dan selandia Baru, pemerintah mengharamkan sistem pendidikan asing masuk dan terintegrasi dengan sistem pendidikan negaranya. Atau secara sederhana masuk dalam kurikulum sekolah. Hanya sekolah yang benar-benar bertaraf Internasional yang diperbolehkan untuk menggunakan sistem pendidikan dari negara lain[5].
Yang Harus dilakukan Bukan Labelisasi Tapi Standarisasi
Keberadaan sekolah dengan label “Bertaraf Internasional” memang tidak bisa dipungkiri menjadi polemik tersendiri di dunia pendidikan Indonesia. Ini merupakan salah satu rangkaian masalah yang harus di hadapi oleh pendidikan Indonesia. RSBI atau SBI keberadaannya memang akhirnya menuai berbagai kritik dari berbagai kalangan, karena dengan labelisasi yang terjadi adalah timbulnya kecemburan sosial di masyarakat, karena hanya segelintir orang yang dapat menikmati sekolah berlabel internasional ini. karena tidak bisa dipungkiri selain kemampuan akademik, kemampuan finansial orang tua siswa pun menjadi point tersendiri dalam meluluskan calon peserta didik, apakah ia diterima atau tidak.
Selain itu negara benar-benar tidak menjalankan ketentuan yang termaktub dalam konstitusi bangsa ini, pendidikan sebagai hak dasar individu sudak selayaknya dijamin oleh pemerintah. Disinilah kewajiban negara untuk menciptakan sekolah yang memang mempunyai standar pendidikan nasional. hal ini harus dilakukan agar tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, dapat dicapai dengan optimal.
Standarisasi sangat penting adanya hal ini pun berhubungan dengan watak dan karakteristik bangsa Indonesia yang memang berbeda dengan negara lain. Standarisasi yang akan dilakukan terhadap setiap sekolah juga harus mengakomodir kearifan lokal serta budaya yang dimiliki oleh bangsa kita. Sehingga pada akhirnya sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memang benar-benar menjadi wahana candradimuka menciptakan manusia-manusia Indonesia yang berwatak Indonesia sejati, mandiri namun memiliki daya saing global dan tentunya tanpa melupakan karakter bangsa Indonesia.

Kami Ada Untuk Memperbaiki Pendidikan Bangsa Ini



Apa Kabar nya pendidikan bangsa Indonesia..?

sudah lah, kita tak harus lagi berkutak mempermasalahkan carut marutnya kondisi pendidikan bangsa ini, karena semua orang di negeri ini, dari presiden hingga rakyat mengetahui bahwa pendidikan bangsa ini belum lah secerah sinar mentari di pagi hari.

melalui komunitas ini, saya mengajak kawan-kawan semua untuk berkontribusi demi perbaikan pendidikan bangsa kita. kita tak harus berfikir rumit untuk mencari akar permasalahan dari pendidikan bangsa ini, yang di butuhkan dari komunitas ini adalah pemuda yang mau berkontribusi setulus hati meskipun kontribusinya kecil jika dijalani dengan cinta maka semuanya akan terasa indah bagi kita dan bangsa ini...



di sini, kawan-kawan hanya perlu sedikit menuangkan gagasan-gagasan hebat yang ada dalam fikiran kawan-kawan semua, agar gagasan-gagasan itu tak hanya seperti daun kering yang berserakan, yang tak ada artinya, komunitas ini hadir dalam rangka menghimpun gagasan-gagasan itu menjadi sebuah rangkaian gagasan yang akan nantinya mampu membawa perubahan bagi pendidikan bangsa kita...


disini, di komunitas ini kita bebas untuk berekspresi, berkreatifitas, memikirkan dan membuat terobosan yang belum pernah di lakukan oleh siapapun. sehingga kita bisa memberikan manfaat sebanyak-banyak nya bagi rakyat bangsa ini yang memang sedang rindu dengan kualitas penddiikan yang lebih baik.

semoga gagasan-gagasan kita, pemikiran-pemikiran kita, terobosan dan karya yang akan kita buat kedepannya mampu menjadi kan Indonesia menjadi rumah yang nyaman untuk anak bangsa dapat tumbuh dan berkembang, semoga langkah kecil kita ini mampu menghadirkan tawa riang anak bangsa yang sekian lama berduka karena tak mendapatkan pendidikan yang layak...

mari terus berkarya kawan, tak peduli besar kecil nya kontribusi dari setiap diri kita, yang dibutuhkan hanya kemauan, tekad yang membaja , hati yang tulus serta cinta dalam setiap karya kita hingga pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan mampu menginspirasi setiap pemuda bangsa ini untuk turut bergerak melakukan perubahan bagi pendidikan bangsa ini...

Mari Berkarya Dengan Cinta...

Rabu, 21 Maret 2012

Judicial Review Pasal 50 UU. Sisdiknas Tahun 2003


“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Dua minggu ini, tepatnya di bulan maret 2012, merupakan hari yang begitu bersejarah bagi dunia pendidikan Indonesia. Kenapa dikatakan bersejarah, karena setelah sekian lama isu mengenai RSBI dan SBI yang merupakan amanah dari Pasal 50 UU. Sisdiknas Tahun 2003 menjadi trending topic bagi sebagian besar aktivis peduli pendidikan akhirnya mengalami judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Isu yang menjadi bahan perdiskusian yang cukup menarik dan banyak ditentang oleh sebagian kalangan, akhirnya Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan judicial review. Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas ini dimohonkan sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan yang mengaku tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).[1]
Dalam kesempatan tersebut pemerintah berujar bahwa program RSBI dan SBI sama sekali tidak diskriminasi. Sekolah itu memang khusus di peruntukan bagi siswa dengan kemampuan diatas rata-rata nasional. Selain itu RSBI juga disiapkan untuk mencetak lulusan-lulusan berkualifikasi di atas standar nasional.  Namun beberapa aktivis LSM Pendidikan di beberapa media baik online maupun cetak mengatakan bahwa kebijakan RSBI merupakan sebuah kebijakan yang membingungkan dan cenderung diskriminatif, selain itu kebijakan ini malah merusak sistem pendidikan nasional. Pertama, dalam soal acuan, RSBI maupun SBI penyelenggaraannya tidak sesuai dengan acuan. Kedua, meskipun amanat konstitusi mengharuskan sekolah menyediakan jatah minimal 20 % untuk siswa dari kalangan ekonomi lemah, namun kenyataanya masih nihil, bahkan sekolah akhirnya memungut biaya tambahan pendidikan. Ketiga,  pemerintah menggunakan negara OECD (forum 34 negara kaya di zona Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) sebagai acuan penyelenggaraan RSBI, ternyata itu hanya mengacaukan sistem pendidikan nasional yang sudah ada. [2]
Hal senada di ungkapkan oleh Soedijarto, Guru Besar (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta,  seharusnya tidak perlu ada RSBI, namun yang perlu ada adalah sekolah nasional yang standarnya tidak kalah dengan internasional. RSBI dan kualitas adalah hal yang berbeda.
Menurut Soedijarto, tidak ada negara yang sekolahnya mengaku standar internasional, Universitas Harvard tidak mengakui menggunakan sistem berstandar internasional. “Lalu, mengapa kita pakai label seperti itu? Label RSBI itu yang mengganggu,” jelasnya.
Selain itu, Soedijarto memaparkan founding fathers (para pendiri negara) menginginkan seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak seperti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Akan tetapi, pada kenyataannya, RSBI justru hanya untuk anak tertentu. “Mengapa founding fathers menginginkan dalam pembukaan ‘…mencerdaskan kehidupan bangsa…’, bukan asal semua orang Indonesia sekolah yang isinya belajar membaca, menulis, kemudian UN. Dalam pandangan founding fathers, seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak sepeti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, semua anak Indonesia harus menjadi mengikuti pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, tapi ternyata diadakan sekolah yang hanya orang tertentu,” paparnya.[3]
RSBI dan SBI, Sebuah Model Kastanisasi Pendidikan
Hari ini, ada kecenderungan bagi para orang tua untuk berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah yang mempunyai label “Bertaraf Internasional”. Akibat tingginya permintaan pasar, maka sekolah negeri mulai berlomba untuk melabeli sekolah dengan label “Bertaraf Internasional”. Berbagai fasilitas pun disulap menjadi fasilitas super mewah, mulai dari kelas dengan ubin mahal, meja dan kursi hanya untuk satu orang, Proyektor, AC, laboratorium lengkap serta penggunaan bahasa asing sebagai pengantar saat guru mengajar di kelas.
Sekolah negeri berupaya untuk menawarkan fasilitas yang memang sesuai dengan standar internasional, karena mendapat label bertaraf internasional, maka tarif nya pun ikut menjadi internasional pula, bahkan tak jarang warga miskin harus tersisih karena tidak mempunyai cukup modal untuk bisa masuk ke dalam sekolah dengan label internasional. Meskipun di ketahui peserta didik tersebut memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan apa yang disyaratkan.
Selain diskriminasi diatas, tak jarang sekolah yang secara kualifikasi tidak memenuhi standar, akhirnya mereka memaksakan untuk mencapai standar tersebut dengan segala cara. Misalnya ada sekolah yang hanya menyiapkan ruangan kosong, sementara fasilitas pendukung di bebankan pada biaya yang harus di bayar oleh orang tua siswa. Selain itu pendidikan sebagai hak dasar dari individu yang harus di penuhi oleh negara akhirnya terabaikan, pendidikan pada akhirnya hanya menjadi barang mahal dan eksklusif, artinya pendidikan berkualitas hanya dapat dinikmati bagi siswa yang mempunyai orang tua kaya.
Seperti yang dikemukakan pada prolog diatas, karena menggunakan standar internasional, maka selain standar pendidikan nasional, RSBI dan SBI pun menggunakan standar asing. Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X[4]. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional. Dalam hal ini karena negara anggota OECD itu terdiri dari 35 negara, maka tidak disebutkan negara mana yang kemudian pemerintah adopsi sistem pendidikannya. Dari mulai kurikulum, hingga evaluasi pendidikannya.
Selain itu ternyata di negara-negara lain, yang sudah berkembang pesat pendidikannya bahkan dikatakan maju, seperti singapura, australia dan selandia Baru, pemerintah mengharamkan sistem pendidikan asing masuk dan terintegrasi dengan sistem pendidikan negaranya. Atau secara sederhana masuk dalam kurikulum sekolah. Hanya sekolah yang benar-benar bertaraf Internasional yang diperbolehkan untuk menggunakan sistem pendidikan dari negara lain[5].
Yang Harus dilakukan Bukan Labelisasi Tapi Standarisasi
Keberadaan sekolah dengan label “Bertaraf Internasional” memang tidak bisa dipungkiri menjadi polemik tersendiri di dunia pendidikan Indonesia. Ini merupakan salah satu rangkaian masalah yang harus di hadapi oleh pendidikan Indonesia. RSBI atau SBI keberadaannya memang akhirnya menuai berbagai kritik dari berbagai kalangan, karena dengan labelisasi yang terjadi adalah timbulnya kecemburan sosial di masyarakat, karena hanya segelintir orang yang dapat menikmati sekolah berlabel internasional ini. karena tidak bisa dipungkiri selain kemampuan akademik, kemampuan finansial orang tua siswa pun menjadi point tersendiri dalam meluluskan calon peserta didik, apakah ia diterima atau tidak.
Selain itu negara benar-benar tidak menjalankan ketentuan yang termaktub dalam konstitusi bangsa ini, pendidikan sebagai hak dasar individu sudak selayaknya dijamin oleh pemerintah. Disinilah kewajiban negara untuk menciptakan sekolah yang memang mempunyai standar pendidikan nasional. hal ini harus dilakukan agar tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, dapat dicapai dengan optimal.
Standarisasi sangat penting adanya hal ini pun berhubungan dengan watak dan karakteristik bangsa Indonesia yang memang berbeda dengan negara lain. Standarisasi yang akan dilakukan terhadap setiap sekolah juga harus mengakomodir kearifan lokal serta budaya yang dimiliki oleh bangsa kita. Sehingga pada akhirnya sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memang benar-benar menjadi wahana candradimuka menciptakan manusia-manusia Indonesia yang berwatak Indonesia sejati, mandiri namun memiliki daya saing global dan tentunya tanpa melupakan karakter bangsa Indonesia.